SPIRIT MELATIH TAWADLU'
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
![]()
Di
hari yang istimewa ini, marilah kita selalu meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah
swt. Karena, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa kepada-Nya.
Salah satu bentuk ketakwaan itu adalah tawadlu' atau sikap rendah hati. Dan tema kita kali ini adalah " Spirit Melatih Tawadlu' ".
Tawadhu' berarti menempatkan kita lebih rendah daripada mereka
semua. Hal ini guna mengubur sifat sombong yang kerap kali bergelora dalam diri
kita. Tawadlu' penting kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
hubungan kepada Allah swt maupun kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya, meliputi
manusia, hewan, tumbuhan, dan sebagainya.
Lawan dari tawadlu' adalah sombong.
Sombong adalah pangkal berbagai macam sifat tercela lainnya. Kita tentu hafal
betul kisah Iblis yang menolak bersujud dalam rangka menghormati Nabi Adam as.
Itu tidak lain karena kesombongan makhluk terlaknat tersebut. Pasalnya, Iblis
merasa lebih baik karena diciptakan dari api, sedangkan Nabi Adam as diciptakan
dari tanah.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Bidayatul Hidayah, menegaskan bahwa
merasa lebih baik dari makhluk lain adalah bentuk kesombongan. Karenanya, kita
harus meyakini bahwa sesungguhnya yang terbaik di sisi Allah swt itu adanya di
akhirat kelak. Hal demikian tentu saja tidak berada dalam jangkauan kita
sebagai manusia biasa.
Kita harus memiliki keyakinan bahwa orang lain itu lebih baik dari kita. Jika
dalam pandangan mata terlihat buruk, kita tidak dapat menganggap keseluruhannya
demikian. Setiap manusia pasti memiliki sisi yang baik. Imam al-Ghazali
memberikan tips bagaimana kita menggunakan kacamata tawadlu' dalam melihat siapa
saja, anak kecil, orang tua, orang bodoh, atau kafir sekalipun.
1. Anak kecil
tentu belum dihukumi taklif sehingga tidak bermaksiat kepada Allah swt,
sedangkan hari-hari kita tidak pernah lepas dari bermaksiat kepada-Nya. Dan tidak ada dendam diantara mereka, mereka tetap bermain bersama dengan riangnya walaupun sesaat sebelumnya bertengkar. Dengan
begitu, kita tidak perlu ragu untuk mengakui bahwa anak kecil itu lebih baik
dari diri kita.
2. Orang yang lebih tua dari kita seyogyanya dipandang lebih baik
dari kita. Sebab, mereka lebih dahulu daripada kita dalam beribadah kepada
Allah swt. Karenanya, tak ada halangan lagi untuk meyakini bahwa mereka lebih
baik daripada kita.
3. Sekalipun ada orang yang tampak, mohon maaf,
bodoh, kita juga harus meyakini kebaikan mereka. Sebab, jika pun mereka
melakukan maksiat, tentu itu didasari atas ketidaktahuannya, sedangkan kita
tetap bermaksiat, meskipun kita tahu bahwa hal tersebut salah dan dilarang
Allah swt.
4. Bahkan, terhadap orang kafir pun kita tidak boleh merasa lebih baik.
Sebab, mungkin saja di suatu saat nanti, atau mungkin di akhir hayatnya kelak,
ia mengucapkan syahadat dan wafat dalam membawa keislaman dan keimanan. Hal demikian
bukanlah hal yang mustahil dan memang banyak terjadi.
Dengan keyakinan
demikian, perasaan tidak lebih baik dari orang lain, maka kita akan berusaha
untuk terus memperbaiki diri, berintrospeksi, mencari kesalahan diri agar tidak
lagi mengulanginya di kemudian hari dan menggantinya dengan sikap dan laku yang
baik. Kita juga tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi justru mencari
dan menemukan kebaikannya untuk kita tiru, kita teladani sebaik mungkin
sehingga kita bukan saja terhindari dari laku buruk, tetapi justru melampaui
hal tersebut, yakni dengan berlaku baik.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menerapkan sikap tawadlu' dalam kehidupan
sehari-hari. Sebab, orang tawadhu' adalah hamba Allah swt yang utama. Hal ini ditegaskan
Allah swt dalam Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 63:
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
Artinya:
"Adapun hamba-hamba (utama) Tuhan Yang
Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina),
mereka mengucapkan “salam” ".
Selain itu, Nabi Muhammad saw
juga bersabda:
التَّوَاضُعُ مِنْ أَخْلَاقِ الْأَنْبِيَاءِ وَالتَّكَبُّرُ مِنْ أَخْلَاقِ
الْكُفَّارِ وَالْفُرَاعِنَةِ
Artinya:
"Tawadlu' merupakan bagian dari akhlaknya
para Nabi, sedangkan sombong adalah akhlaknya orang-orang kafir dan para
firaun".
Wallahu a'lam bisshawab.
I'tibar:
Imam Abu Ishaq Ats-Tsa’labi dalam kitabnya Tafsir Qur’an Al-Bayan, menjelaskan bahwa hamba yang dimaksud
dalam Surat Al-Furqan ayat 63 tersebut adalah hamba utama, yakni orang yang tawadlu', rendah hati.
Bahkan, jika ada orang yang ‘mengkhutbahi’, menasihati dengan kata-kata yang
justru tidak membuatnya nyaman, orang tersebut tetap menjawabnya dengan doa keselamatan.
Meskipun diperlakukan dengan tidak
baik, sikap tawadlu' menghindarkan kita dari dosa-dosa berupa prilaku buruk yang
serupa atau bahkan lebih sebagai balasan kepadanya. Kita justru akan menjawab
perlakuan itu dengan kebalikannya, yaitu dengan mendoakan keselamatan, tetap
menjaga etika dan akhlak kita, baik secara perbuatan ataupun perkataan. Jika kita tidak mampu membuat lebih baik, setidaknya kita tidak membuatnya lebih buruk.
Oleh karena itu, dengan kita bertawadlu', sesungguhnya kita tengah
menjalankan salah satu akhlaknya para Nabi. Dan semoga, kita dapat senantiasa
menjalankan sikap demikian ini. Meskipun mungkin akan sulit diterapkan karena
beragam hal, misalnya merasa diri pintar karena berprestasi, merasa lebih dekat
dengan Allah karena selalu berjamaah di masjid, dan sebagainya,
tawadlu' haruslah kita latih. Sedikit demi sedikit, insyaallah, kita akan
terbiasa bersikap demikian, Aamiin.
Demikian semoga bermanfat.
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
شفاعة
Komentar
Posting Komentar