BAYAR HUTANG HIDUP MENJADI TENANG

  السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


                                                                                                                                                       by شفاعة

 

Menjadi keniscayaan bagi kita selaku hamba Allah swt untuk senantiasa bersyukur pada nikmat tak terhitung yang kita terima dalam setiap hembusan nafas. Nikmat ini harus terus kita syukuri bi-qawli Alhamdulillahi rabbil 'alamin, seraya diiringi syukur dalam hati berupa penguatan komitmen memanfaatkan nikmat untuk beribadah, dan diwujudkan dalam tindakan amal baik agar kita tidak menjadi golongan orang-orang yang kufur nikmat.  

 

Di antara buah dari rasa syukur adalah meningkatnya ketakwaan kita kepada Allah swt melalui kesadaran untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Oleh karena itu pada kesempatan yang mulia ini, mari kita tingkatkan rasa syukur dan ketakwaan kepada Allah dan senantiasa berkomitmen menjalankan misi utama hidup di dunia yakni beribadah kepada Allah.

 

  وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ   

Artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” 

(QS Adz-Dzariyat: 56)  

 

Dalam kehidupan di dunia ini, kita tidak bisa lepas dari yang namanya kebutuhan, khususnya kebutuhan materi untuk bisa bertahan hidup. Berbagai upaya mesti kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan kita, lebih-lebih kita memiliki keluarga yang menjadi tanggung jawab kita untuk diberi nafkah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup kita dan keluarga, kita diwajibkan bekerja dan tidak boleh berpangku tangan saja alias bermalas-malasan.

 

'Abdullah bin Mas'ud tidak suka kepada orang yang bermalas-malasan, tidak bekerja untuk mencari nafkah, tidak juga beramal saleh. Keterangan ini disebutkan oleh Imam Abu Dawud dalam kitab az-Zuhdu, yaitu:  

 

 ِإِنِّي لَأَمْقَتُ الرَّجُلَ أُرَاهُ فَارِغًا، لَا فِي أَمْرِ دُنْيَاهُ وَلَا فِي أَمْرِ آخِرَتِهِ.  

Artinya: "Sungguh aku marah kepada orang yang menganggur, tidak melakukan amal dunia maupun amal akhirat." (HR Abu Dawud dalam az-Zuhdu).  

 

Terkadang kita menemukan kondisi di mana kebutuhan kita melebihi dari penghasilan yang kita dapatkan dari pekerjaan yang kita lakukan. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan itu, kita harus mencari solusi lain di antaranya dengan cara berutang. Tindakan utang ini diperbolehkan dalam agama Islam namun dengan berbagai tata cara dan etika yang harus diperhatikan.  

 

Di antara etika saat kita akan berutang adalah berniat dan bertekad untuk membayarnya. Jangan sampai kita berutang kepada orang lain namun dengan niat tidak akan mengembalikannya. Tindakan seperti ini sangat tidak disenangi oleh Rasulullah. Allah pun akan membalasnya dengan kebinasaan. Hal ini ditegaskan dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:  

 

 مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ

Artinya: “Siapa pun yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan siapa pun yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya”. (Hadits riwayat Imam al-Bukhari)  

 

Karena utang adalah mengambil hak orang lain, maka ketika kita berutang dan tidak membayarnya, maka kita termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil dan ini jelas dilarang oleh Allah. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

 

  وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ 

Artinya: “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 188).  

 

Etika selanjutnya yang perlu kita perhatikan adalah komitmen membayar utang jika sudah waktunya membayar. Kita tidak boleh menunda-nunda dalam membayar utang karena itu adalah sebuah bentuk kezaliman pada orang yang telah membatu kita.


Jangan sampai ketika saatnya kita harus membayar utang, dan orang yang memberikan utang datang untuk mengambil haknya atau menagih, kita malah menghindar atau malah marah-marah dan tersinggung. Kita harus menyadari bahwa itu adalah hak dia dan menjadi kewajiban kita untuk membayarnya. Jika kita lebih galak dari yang menagih utang, berarti kita sudah tidak punya komitmen untuk membayar utang. Naudzubillah min dzalik.  

 

Saat kita berani berutang, maka di situ pula kita seharusnya berani untuk membayar atau mengembalikannya. Ketika kita selalu menghindar dari yang menagih utang kepada kita, di situlah kita mulai hidup di bawah bayang-bayang ketidaktenangan. Ketidaktenangan dalam hidup tentu akan berdampak besar pada kualitas aktivitas kita.   

 

Bukan hanya di dunia, tanggungan utang yang tidak dibayar juga akan berdampak pada ketidaktenangan dalam kehidupan di alam kubur dan akhirat kelak. Saat kita punya utang yang tidak terbayar, besok utang tersebut akan diminta gantinya dengan amal baik yang kita lakukan selama di dunia sebesar hitung-hitungan utang tersebut.   

 

Rasulullah saw pun dalam sejarahnya pernah enggan untuk mennyalati seseorang yang masih memiliki utang sampai akhirnya ada orang lain yang melunasinya. Dalam suatu hadits, Nabi saw bersabda:

 

   مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ  

Artinya: “Siapa pun yang rohnya berpisah dari jasad sedangkan ia terbebas dari tiga perkara ini, ia pasti akan masuk surga. Yaitu terbebas dari sombong, khianat, dan utang (HR Ibnu Majah)  

 


I’tibar:
Berikut adab berhutang dalam Islam:

1. Yakin mampu membayar
Islam menganjurkan jangan sampai kita berhutang sebelum yakin dapat membayarnya di kemudian hari. Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang mengambil harta manusia (dan) ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan atasnya dan barangsiapa yang mengambil (dan) ia ingin menghilangkannya niscaya Allah menghilangkannya." (HR. Bukhari).

2. Tidak menunda pembayaran
Salah satu penyakit yang sering menjangkiti orang berhutang adalah malas membayar. Nabi Muhammad SAW menyebut kelakuan orang yang menunda-nunda pembayaran hutang padahal dia mampu sebagai sebuah perbuatan zalim.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Mengulur-ngulur waktu pembayaran hutang oleh orang yang mampu merupakan perbuatan zalim. Dan jika salah seorang di antara kalian diikutkan (dialihkan hutangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya."

3. Mencatat hutang
Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari, Islam menganjurkan untuk mencatat hutang.
Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 282:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Demikianlah khutbah Jumat yang mengingatkan kita semua akan pentingnya membayar hutang agar kehidupan kita menjadi tenang, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa diberikan rezeki halal dan tidak memakan hak orang lain dengan cara yang zalim. Amiin


و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aliran Hulul dalam Tasawuf

AWAS "MUNAFIK" !

SPIRIT MEMBERSIHKAN HATI DARI HASAD