RAHMAT ALLAH SUNGGUH LUAR BIASA

  السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 


Pada hari yang mulia ini, khatib mengajak jamaah sekalian untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah subhânahu wa ta’âla dengan sebenar-benarnya taqwa; taqwa dalam artian menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dengan meningkatkan ketaqwaan, maka kita telah menjalankan ikhtiar kita untuk menjadi sebaik-baiknya hamba Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhânahu wa ta’âla dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13:

  اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.”

Materi khutbah kali ini merupakan penjabaran dari istilah rahmat dalam ayat Az-Zumar 53: 

 

 قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ   

 

Artinya: 

"Katakanlah hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". 

 

Dan kami mengambil tema "Rahmat Allah Sungguh Luar Biasa". Bahwasanya kita dilarang untuk merasa putus asa atas rahmat Allah. Bagaimana akan putus asa kalau kita sendiri tidak memahami rahmat itu sendiri. Oleh karena itulah tema khutbah kali ini akan lebih banyak membicarakan hal tersebut.  

 

Sebuah kisah yang berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW dari cerita Malaikat Jibril: Sungguh dahulu pernah ada seorang hamba (abid) yang tinggal seorang diri di sebuah gunung paling tinggi di dunia. Begitu tingginya gunung itu, sehingga aku (Jibril) sering melaluinya ketika hendak turun dari langit melaksanakan titah dari Yang Maha Kuasa. Gunung itu tidak begitu luas, tetapi cukup lengkap persediaan bahan makanan dan buah-buahan, juga air terjun yang menyegarkan. Hal itu mempermudah abid menjaga perut dari kekosongan dan memudahkannya berwudhu sehingga selalu dalam keadaan suci. 

 

Di atas gunung yang sangat indah itu, abid hidup selama lima ratus tahun. Ia tidak punya kegiatan, selain beribadah, bermunajat, berdoa, dan tidak pernah terlintas di benaknya untuk berbuat dosa dan mendurhakai-Nya. Salah satu doa yang dikabulkan Allah adalah permohonannya setiap saat untuk mati dalam keadaan sujud. Demikianlah, akhirnya abid meninggal dunia dalam usia lima ratus tahun. 

 

Setelah kematiannya Allah berfirman kepadanya: "Wahai hamba, karena rahmat-Ku, kau akan segera Aku masukkan ke dalam surga". Mendengar pernyataan tersebut si abid berubah mukanya, terkesan tidak terima. Karena ia merasa bahwa amal dan ibadahnya selama lima ratus tahun tanpa dosa-lah yang menyebabkan layak masuk ke surga. Bukan semata karena rahmat-Nya.

 

Demikian protes abid kepada Allah SWT. Mengerti dengan yang dimaksud si abid, maka segeralah Allah menugaskan seorang malaikat untuk menghitung dan menimbang seluruh amal dan ibadahnya selama lima ratus tahun tanpa dosa yang diandalkannya sebagai modal meraih surga. Kemudian ditimbangnya amal tersebut dengan rahmat pemberian-Nya. Ternyata rahmat Allah yang diberikan kepada abid yang terdapat dalam mata (termasuk di dalamnya kemampuan melihat) saja jauh lebih berat nilainya dibandingkan dengan ibadahnya selama lima ratus tahun. Belum nikmat anggota badan yang lain, otak, kaki, tangan, dan seterusnya. Maka sesuai dengan protes yang diajukannya, Allah pun memerintahkan malaikat untuk menyeret si abid ke dalam neraka. Karena nilai amal dan ibadahnya jauh lebih ringan dari pada rahmat yang terdapat pada mata. 

 

Ketika itulah si abid baru sadar ternyata kebergantungannya pada amal tidak dapat menyelamatkannya. Segera ia meminta ampunan dan mengakui akan segala kesalahan dan kesombongannya. Ia terlalu mengandalkan amal ibadahnya dan mengabaikan rahmat-Nya.   

 

Untung saja Allah mengampuninya dan sekali lagi menanyakan kepada si abid: "Apakah engkau masuk surga ini karena amalmu? Si abid menjawab: Tidak ya Allah Tuhanku, sungguh ini semua karena rahmat-Mu"

 
Cerita di atas membuktikan betapa hidup manusia sangat tergantung pada rahmat Allah SWT sebagai pengatur alam jagad raya. Dia-lah yang menentukan semuanya. Ia berhak melakukan apapun kepada makhluk. Sebagai Sang Pencipta, sebagai Sang Maha Kuasa, Dia bebas menyiksa dan mengganjar siapa saja yang Ia mau. Tidak ada yang dapat membatasi gerak-Nya. Ketundukan atau kedurhakaan kita kepada-Nya tidaklah mampu menggeser kekuasaannya walau sedikit pun. Oleh karena itulah hidup semua makhluk ini sungguh-sungguh tergantung pada rahmat-Nya, bukan pada kesalihan amal ibadah kita. 


Oleh karena itulah, kita diajari sebuah doa yang sangat masyhur:


 ارحمنا ياالله لان رحمتك أرجى لنا من جميع أعمالنا, واغفر لنا ياالله لان مغفرتك اوسع من ذنوبنا 

 

Irhamna ya Allah, lianna rahmataka arja lana min jami’i a’malina. Waghfir lana ya Allah, lianna maghfirataka ausa’u lana min dzunubina. 

 

Artinya: 

"Ya Allah kasihanilah kami, karena rahmat-Mu lebih kami harapkan dari pada semua amal kami. Dan ampunilah kami, karena pengampunan-Mu lebih luas dari pada dosa-dosa kami".  

 

Begitulah hendaknya, manusia sebagai hamba yang lemah tidak dibenarkan terlalu merasa aman dengan amal ibadah yang telah kita kerjakan. Karena hal itu tidak serta merta mampu menyelamatkan kita. Karena keselamatan dan pertolongan itu terkandung dalam rahmat-Nya. Dengan kata lain, sungguh merugi jika manusia merasa nyaman dengan tumpukan dan penjumlahan amal yang telah dilakukannya, dengan harapan amal dan ibadah itu akan menyelamatkannya dari api neraka. 


Selain itu ada sebuah kisah masyhur yang lain dalam kitab Nashaihul Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani tentang Imam al-Ghazali. Diceritakan bahwa hujjatul Islam tersebut tampak dalam mimpi, maka ia ditanya: Apa yang Allah lakukan kepadamu? Lalu ia menjawab: Allah membiarkanku di hadapan-Nya, 

Kemudian Allah berfirman: "Kenapa engkau dihadapkan kepada-Ku, apa yang engkau bawa?" 

Maka aku (al-Ghazali) menyebutkan segala amal-ibadahku. 

Tapi Allah menjawab: "Sesungguhnya Aku tidak menerima semua amal ibadahmu, kecuali satu amal pada suatu hari ketika kamu membiarkan seekor lalat hinggap di atas tintamu dan meminum tinta itu dari ujung penamu, serta engkau membiarkannya karena kasihan kepada lalat itu". Kemudian Allah berfirman: "Wahai malaikat, bawalah hamba-Ku ini ke surga". 

 

Kisah Al-Ghazali ini menunjukkan kepada kita bahwa posisi rahmat Allah itu sangat rahasia. Ia bisa terdapat bentangan amal kita yang tidak kita ketahui persisnya. Beratus-ratus kitab karya Al-Ghazali, bertahun-tahun ibadahnya, tetapi rahmat-Nya malah terdapat di tinta pada ujung penanya? Bukankah secara logika ratusan karya itu lebih bernilai? Tidak demikian. Rahmat-Nya tidak dapat dikalkulasi, diprediksi dan diperinci karena rahmat itu adalah hak prerogatif milik-Nya. 

 

Oleh karena itulah tidak dibenarkan bagi kita untuk menilai rendah sebuah amal ibadah. Walaupun itu sekadar menghindarkan duri dari tengah jalan. Karena bisa saja amal itu yang dirahmati Allah. Kita tidak boleh meremehkan amal walau sekecil apapun siapa tahu itulah yang akan menyelamatkan kita di akhirat nanti. 

 

I’tibar:

Dalam konteks kekinian, rahmat Allah dapat saja berada dalam amal yang sungguh sepele. Mungkin saja rahmat itu terletak dalam diri anak-anak jalanan yang mengulurkan tangan ke hadapan kita, atau di dalam diri pengamen yang menyanyikan lagu sumbang tak jelas suara dan nadanya, mungkin juga terletak pada polisi cepek di perempatan jalan. Dan juga mungkin sekali rahmat itu terletak dalam amal kita dalam memberi selembar kertas koran sebagai alas shalat Jumat. Walhasil, sekecil apapun amal itu tidak boleh kita sepelekan. Hal ini tentunya akan mengajak kita memandang fenomena akan lebih hati-hati dan tidak mudah berburuk sangka atau su’udzon. Janganlah kita mudah buruk sangka dan memandang remeh kepada pekerjaan orang lain. Tukang sayur yang mangkal setiap pagi, tukang jual kue basah, tukang ojek dan tukang lain yang sering kita nikmati jasanya tanpa kita kenal profilnya dengan dekat. Bahkan seringkali mereka yang kita jadikan kambing hitam, bisa jadi pekerjaan merekalah yang mengandung rahmat Allah dibandingkan pekerjaan kita. 


Rasulullah saw bersabda:

 لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ

Artinya:

“Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku(kata Rasulullah), kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR Muslim).

Akhirnya, bahwa manusia tidak boleh berputus asa untuk terus memburu rahmat Allah, karena sesungguhnya rahmat itu amat sangat luasnya. Hanya kebanyakan manusia tidak memahami hikmah di balik itu semua. 


Demikianlah khutbah Jumat kali ini semoga bermanfaat. 



و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 شفاعة

Pada hari yang mulia ini, khatib mengajak jamaah sekalian untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhânahu wa ta’âla dengan sebenar-benarnya takwa; takwa dalam artian menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dengan meningkatkan ketakwaan, maka kita telah menjalankan ikhtiar kita untuk menjadi sebaik-baiknya hamba Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhânahu wa ta’âla dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13: اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Betapa pentingnya menjaga dan meningkatkan persaudaraan di antara umat muslim. Jika tali persaudaraan di antara kita, orang-orang muslim, selalu dijaga, maka kita telah mengamalkan pesan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat Imam Muslim, yaitu: اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَهُنَا يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ: بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ Artinya: “Muslim satu dengan muslim lainnya saling bersaudara, tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah sambil menunjuk dadanya), beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. Hartanya dan kehormatannya.” Dari hadits yang telah disebutkan tadi, terdapat larangan bagi kita sebagai orang Muslim, di antaranya adalah larangan menghina dan menyakiti saudara sesama muslim. Dan bentuk dari menyakiti saudara sesama muslim yang sangat disayangkan adalah vonis kafir kepada orang-orang muslim, padahal satu muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara. Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sendiri telah memperingatkan umatnya agar tidak serampangan menuduh kafir terhadap sesama muslim. Sebab, jika tuduhan tersebut tidak benar, maka akan jatuh kepada dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadits: عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا. فَإنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ. (متفق عليه) Artinya, “Diriwayatkan dari Ibn Umar radliyallâhu ‘anhumâ, ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ketika seseorang mengucapkan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’, maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya. Bila orang yang dituduh memang kafir maka sudah jelas, bila tidak maka dosa tuduhan itu kembali kepadanya’.” (Muttafaq ‘Alaih) Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda: وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ. (متفق عليه) Artinya, “Siapa saja yang menuduh kufur seorang mukmin maka ia seperti membunuhnya.” (Muttafaq ‘Alaih) Mengenai tuduhan kafir seorang muslim kepada saudara muslim lainnya, sungguh hal ini telah terjadi di masa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, tepatnya tahun ke delapan Hijriah. Kala itu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Abu Qatadah Al-Anshari ke gunung Adham dekat kota Makkah untuk mengecoh musuh. Di sana mereka bertemu dengan ‘Amir bin Al-Athbat, ‘Amir pun segera mengucapkan salam kepada mereka. Di luar dugaan, salah seorang prajurit bernama Muhallim bin Juttsamah justru membunuhnya karena menganggapnya tidak beriman. Akhirnya peristiwa itu pun sampai kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan turunlah ayat: وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا (النساء: ٩٤) Artinya, “Dan janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian: ‘Kamu tidak beriman’” (QS An-Nisa: 94). Di kemudian hari Muhallim menghadap kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam agar dimintakan ampunan kepada Allah ta’ala atas perbuatannya. Namun bagaimana respons Rasulullah? Bukan hanya menolak karena menyesalkan kesalahan Muhallim yang serampangan memvonis kafir ‘Amir bin Al-Athbat—bahkan sampai membunuhnya—Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam justru tegas bersabda: “Allah tidak akan mengampunimu.” Muhallim beranjak pergi penuh penyesalan dan menangis sejadi-jadinya. Tujuh hari kemudian ia meninggal dan ketika akan dikuburkan, bumi enggan menerimanya. Karena bingung, orang-orang menghadap Rasulullah untuk meminta petunjuk. Lalu beliau bersabda: إِنَّ الْأَرْضَ تَقْبَلُ مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنْ صَاحِبِكُمْ، وَلَكِنَّ اللهَ أَرَادَ أَنْ يَعِظَكُمْ مِنْ حُرْمَتِكُمْ. Artinya, “Sungguh bumi menerima orang yang lebih buruk dari teman kalian itu, namun Allah berkehendak menasihati kalian sebab kemuliaan kalian.” Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Dari kisah tadi, marilah kita ambil pelajaran yang sangat penting dalam bermuamalah dan bersosial dengan sesama muslim, yaitu jangan sekali-kali kita mengafirkan saudara sesama muslim, bahkan dalam kondisi konflik apa pun. Karena, dengan mengafirkan sesama muslim, maka secara sadar ia telah menghalalkan darah saudaranya sendiri padahal Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan tegas melarang perbuatan tersebut. Semoga, kita dapat menjadi seorang muslim yang berhati-hati dalam berbicara, memiliki sifat toleransi, saling mengasihi dan berbaik sangka kepada semua orang, khususnya orang-orang muslim yang semuanya adalah saudara kita.

Sumber: https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-vonis-kafir-yang-disesalkan-rasulullah-XcfU6

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aliran Hulul dalam Tasawuf

AWAS "MUNAFIK" !

SPIRIT MEMBERSIHKAN HATI DARI HASAD