MUHASABAH SYUKUR

 

 السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 

 syukur

 

Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan.

Sungguh, nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepada umat manusia sangatlah melimpah dan tidak dapat dihitung. Kesehatan, harta, mata, telinga, lisan, anak yang berbakti, istri yang shalihah, teman yang setia, tetangga yang baik dan masih banyak lagi yang lain adalah nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita. Meskipun demikian, kebanyakan manusia tidak bersyukur. Bahkan banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa hal-hal tersebut adalah nikmat dan anugerah dari Allah ta’ala. Banyak pula di antara kita yang tidak mengetahui hakikat syukur dan bagaimana cara bersyukur. Dan tema kita kali ini adalah "MUHASABAH SYUKUR".

 Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 اِنَّ اللّٰهَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُوْنَ (غافر: ٦١)

Artinya:
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang memberikan anugerah pada umat manusia. Hanya saja kebanyakan umat manusia tidak bersyukur (kepada-Nya)” (QS Ghafir: 61) 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Syukur ada dua macam. Ada syukur yang wajib dan ada syukur yang sunnah. 

Syukur yang wajib adalah tidak menggunakan nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita untuk berbuat maksiat kepada-Nya. Jadi bersyukur kepada Allah atas nikmat lisan adalah tidak mengatakan perkataan yang diharamkan oleh Allah. Bersyukur kepada Allah atas nikmat telinga adalah dengan tidak mendengarkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Bersyukur kepada Allah atas nikmat mata adalah dengan tidak melihat sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Bersyukur kepada Allah atas nikmat harta adalah dengan tidak membelanjakannya untuk perkara yang haram.

Adapun syukur yang sunnah adalah mengucapkan dengan lisan pujian yang menunjukkan bahwa Allah-lah Sang Pemberi nikmat dan yang menganugerahkannya kepada para hamba-Nya, semisal dengan ucapan alhamdulillah. Pemberian nikmat kepada hamba adalah murni anugerah dan karunia dari Allah, bukan kewajiban bagi-Nya. Karena memang tidak ada sesuatu pun yang wajib bagi-Nya. Allah ta’ala berfirman:

 وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ (النحل: ٥٣)

Artinya:
“Dan nikmat apa pun yang ada pada kalian adalah dari Allah. Kemudian jika kalian terkena mara bahaya, maka hanya kepada-Nya-lah hendaknya kalian memohon” (QS an-Nahl: 53). 

Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Sebagian orang sama sekali tidak bersyukur. Dan sebagian yang lain bersyukur tetapi tidak secara sempurna. Orang-orang yang sama sekali tidak bersyukur kepada Allah adalah mereka yang takabur sehingga tidak mau menerima kebenaran yang dibawa oleh para nabi. Mereka tidak mau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para utusan-Nya dan juga hari akhir. Mereka meyakini kekufuran dan menolak tauhid. Mereka ini tidak bersyukur kepada Allah ta’ala sama sekali. Karena mereka telah meninggalkan kewajiban yang paling dasar dan paling utama, yaitu iman yang Allah jadikan sebagai syarat diterimanya amal kebaikan. Mereka ini termasuk yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala:

 وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا (الفرقان: ٢٣)

 
Artinya:
“Dan Kami (Allah) menghukumi amal (yang mereka anggap baik) yang mereka lakukan (dalam keadaan tidak beriman), maka Kami jadikan amal mereka seperti debu yang bertebaran (tidak berguna dan tidak diterima)” (QS al Furqan: 23).

Allah telah memuji Nabi Ibrahim dalam firman-Nya:

 اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلّٰهِ حَنِيْفًاۗ وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ شَاكِرًا لِّاَنْعُمِهِ ۖ (النحل: ١٢٠-١٢١)

Artinya:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam panutan nan taat kepada Allah serta berpaling pada agama yang lurus. Dan ia tidak pernah termasuk orang-orang musyrik. Dia adalah orang yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya” (QS an-Nahl: 120-121).

Dalam kitab tafsirnya, ath-Thabari mengatakan: “Maknanya Ibrahim tulus bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Dan dalam bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya tersebut, Ibrahim tidak menjadikan sekutu bagi-Nya.” Artinya, syukur Nabi Ibrahim kepada Allah diwujudkan dengan beriman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Sedangkan orang-orang yang syukur mereka tidak sempurna adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tapi masih meninggalkan kewajiban dan melakukan perkara yang diharamkan. Keadaan mereka di akhirat tergantung kehendak Allah. Jika Ia berkehendak, mereka diampuni oleh-Nya dan langsung dimasukkan surga. Dan jika Ia berkehendak, mereka tidak diampuni oleh-Nya lalu dimasukkan ke dalam neraka beberapa lama. Akan tetapi walau bagaimanapun, seseorang yang mati dalam keadaan beriman, pada akhirnya semuanya akan dimasukkan ke dalam surga.

Wallahu a'lam bisshowab

 

I'tibar:

Syukur mencakup tiga sisi:

1. Syukur dengan hati

Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa besar kemurahan, dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahnya pujian kepada-Nya. 

Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa malapetaka pun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu, tetapi karena terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi.

Dari kesadaran tentang makna-makna di atas, seseorang akan tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah.

2. Syukur dengan lisan
Syukur dengan lisan adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya. Al-Quran mengajarkan agar pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi “al-hamdulillah.”

Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah, maka itu berarti pada saat kita memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada hakikatnya kembali kepada Allah SWT.

3. Syukur dengan perbuatan

Allah berfirman:

 وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

 

Artinya:
“Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untuk kamu) agar kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan (agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah disebut) semoga kamu bersyukur” (QS. An-Nahl [16]: 14).

Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur untuk mencari ikan-ikannya, mutiara dan hiasan yang lain, serta menuntut pula untuk menciptakan kapal-kapal yang dapat mengarunginya, bahkan aneka pemanfaatan yang dicakup oleh kalimat “mencari karunia-Nya”.

Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

 

Artinya:
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Betapa anugerah Tuhan tidak akan bertambah, kalau setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap hembusan angin yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang tercurah dan langit dipelihara dan dimanfaatkan oleh manusia.

Di sisi lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa “Kalau kamu kufur (tidak mensyukuri nikmat atau menutupinya tidak menampakkan nikmatnya yang masih terpendam di perut bumi, di dasar laut atau di angkasa), maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih.”

Menurut ahli tafsir, siksa dimaksud antara lain adalah rasa lapar, cemas, dan takut.

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

 

و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 شفاعة

Pada hari yang mulia ini, khatib mengajak jamaah sekalian untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhânahu wa ta’âla dengan sebenar-benarnya takwa; takwa dalam artian menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dengan meningkatkan ketakwaan, maka kita telah menjalankan ikhtiar kita untuk menjadi sebaik-baiknya hamba Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhânahu wa ta’âla dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13: اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Betapa pentingnya menjaga dan meningkatkan persaudaraan di antara umat muslim. Jika tali persaudaraan di antara kita, orang-orang muslim, selalu dijaga, maka kita telah mengamalkan pesan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat Imam Muslim, yaitu: اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَهُنَا يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ: بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ Artinya: “Muslim satu dengan muslim lainnya saling bersaudara, tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah sambil menunjuk dadanya), beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. Hartanya dan kehormatannya.” Dari hadits yang telah disebutkan tadi, terdapat larangan bagi kita sebagai orang Muslim, di antaranya adalah larangan menghina dan menyakiti saudara sesama muslim. Dan bentuk dari menyakiti saudara sesama muslim yang sangat disayangkan adalah vonis kafir kepada orang-orang muslim, padahal satu muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara. Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sendiri telah memperingatkan umatnya agar tidak serampangan menuduh kafir terhadap sesama muslim. Sebab, jika tuduhan tersebut tidak benar, maka akan jatuh kepada dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadits: عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا. فَإنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ. (متفق عليه) Artinya, “Diriwayatkan dari Ibn Umar radliyallâhu ‘anhumâ, ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ketika seseorang mengucapkan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’, maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya. Bila orang yang dituduh memang kafir maka sudah jelas, bila tidak maka dosa tuduhan itu kembali kepadanya’.” (Muttafaq ‘Alaih) Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda: وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ. (متفق عليه) Artinya, “Siapa saja yang menuduh kufur seorang mukmin maka ia seperti membunuhnya.” (Muttafaq ‘Alaih) Mengenai tuduhan kafir seorang muslim kepada saudara muslim lainnya, sungguh hal ini telah terjadi di masa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, tepatnya tahun ke delapan Hijriah. Kala itu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Abu Qatadah Al-Anshari ke gunung Adham dekat kota Makkah untuk mengecoh musuh. Di sana mereka bertemu dengan ‘Amir bin Al-Athbat, ‘Amir pun segera mengucapkan salam kepada mereka. Di luar dugaan, salah seorang prajurit bernama Muhallim bin Juttsamah justru membunuhnya karena menganggapnya tidak beriman. Akhirnya peristiwa itu pun sampai kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan turunlah ayat: وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا (النساء: ٩٤) Artinya, “Dan janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian: ‘Kamu tidak beriman’” (QS An-Nisa: 94). Di kemudian hari Muhallim menghadap kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam agar dimintakan ampunan kepada Allah ta’ala atas perbuatannya. Namun bagaimana respons Rasulullah? Bukan hanya menolak karena menyesalkan kesalahan Muhallim yang serampangan memvonis kafir ‘Amir bin Al-Athbat—bahkan sampai membunuhnya—Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam justru tegas bersabda: “Allah tidak akan mengampunimu.” Muhallim beranjak pergi penuh penyesalan dan menangis sejadi-jadinya. Tujuh hari kemudian ia meninggal dan ketika akan dikuburkan, bumi enggan menerimanya. Karena bingung, orang-orang menghadap Rasulullah untuk meminta petunjuk. Lalu beliau bersabda: إِنَّ الْأَرْضَ تَقْبَلُ مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنْ صَاحِبِكُمْ، وَلَكِنَّ اللهَ أَرَادَ أَنْ يَعِظَكُمْ مِنْ حُرْمَتِكُمْ. Artinya, “Sungguh bumi menerima orang yang lebih buruk dari teman kalian itu, namun Allah berkehendak menasihati kalian sebab kemuliaan kalian.” Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Dari kisah tadi, marilah kita ambil pelajaran yang sangat penting dalam bermuamalah dan bersosial dengan sesama muslim, yaitu jangan sekali-kali kita mengafirkan saudara sesama muslim, bahkan dalam kondisi konflik apa pun. Karena, dengan mengafirkan sesama muslim, maka secara sadar ia telah menghalalkan darah saudaranya sendiri padahal Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan tegas melarang perbuatan tersebut. Semoga, kita dapat menjadi seorang muslim yang berhati-hati dalam berbicara, memiliki sifat toleransi, saling mengasihi dan berbaik sangka kepada semua orang, khususnya orang-orang muslim yang semuanya adalah saudara kita.

Sumber: https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-vonis-kafir-yang-disesalkan-rasulullah-XcfU6

 

 

 

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aliran Hulul dalam Tasawuf

AWAS "MUNAFIK" !

SPIRIT MEMBERSIHKAN HATI DARI HASAD