السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Sebuah kewajiban bagi kita untuk senantiasa memupuk rasa
iman dan takwa kepada Allah SWT. Oleh karenanya, marilah kita menguatkan dan
meningkatkan takwa kita kepada Allah dengan berjuang sekuat tenaga untuk
mematuhi segala perintah dan menjauhi sejauh-jauhnya larangan Allah SWT.
Di bulan
Zuhijjah ini, agenda terbesar adalah Hari Raya Idyl Adha, dimana di dalamnya
kita di sunnahkan untuk berkurban, sehingga dalam kesempatan ini kami mengambil
tema “Berkurban Sebagai Tanda Syukur dan Cinta kepada Allah serta Sesama”.
Di umur dunia
yang sudah semakin tua ini, kita rasakan banyak manusia yang mementingkan
kuantitas dari pada kualitas harta. Manusia di era modern saat ini lebih
mementingkan jumlah harta yang dimiliki dibanding keberkahan harta itu sendiri.
Banyak yang beranggapan bahwa hidup dan rezeki adalah matematika yakni satu
tambah satu sama dengan dua. Padahal rezeki dalam kehidupan ini tidak bisa
dihitung dengan ilmu matematika. Dalam hidup terkadang 1+1 memang 2. Namun,
bisa saja 1+1=11 atau 1+1 bisa jadi 0.
Masing-masing
rezeki manusia dan makhluk di dunia sudah ditentukan oleh Allah. Rezeki tidak
akan tertukar karena Allah telah membagi-bagi rezeki kepada orang-orang yang
dikehendaki. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya:
Sesungguhnya
Allah memberi rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS.
Ali ‘Imran [3]: 37).
Segala hal
terkait dengan rezeki yang sudah didapatkan haruslah disyukuri. Dengan syukur,
kita tidak akan lagi selalu menghitung-hitung jumlah harta yang kita miliki.
Perlu kita sadari, rezeki, harta adalah washilah (lantaran) saja untuk kita
bisa beribadah dengan istiqamah kepada Allah. Ingat, tugas utama kita hidup di
dunia ini adalah beribadah menyembah Allah SWT. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya:
“Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS.
Adz Dzariyat: 56).
Di antara
wujud wujud bersyukur adalah dengan bersedekah dan berbagi rezeki kepada orang
lain. Jangan sampai kita berpikir bahwa dengan memberi kepada orang lain, harta
kita akan berkurang. Tidak, tidak sama sekali. Malah sebaliknya, ketika kita
memberi, pada hakikatnya kita menerima. Dengan memberi, apa yang kita miliki
pun akan semakin berkah dan semakin mendekatkan kita kepada yang memberi rezeki
yakni Allah SWT.
Dalam bulan
Dzulhijjah saat ini, wujud syukur dan pendekatan diri kepada Allah melalui
berbagi rezeki dapat diwujudkan dalam ibadah kurban. Apalagi di tengah pandemi
Covid-19 yang belum mereda sampai dengan saat ini, berkurban bisa benar-benar
sangat besar manfaatnya bagi yang menerima. Bagi yang sulit dalam mencari
kebutuhan pangan, kurban bisa menjadi solusi meringankan kebutuhan hidup.
Dengan
beberapa hal ini kita bisa mengetahui bahwa berkurban memiliki dua dimensi
hikmah. Pertama, dimensi vertikal dalam bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT
untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Ini juga bisa diketahui dari kata kurban itu
sendiri berdasarkan etimologi yang berasal dari bahasa Arab qaruba – yaqrubu –
qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang artinya dekat. Kedua, dimensi horizontal
atau sosial di mana dengan kurban akan mampu menggembirakan orang-orang yang
membutuhkan pada Hari Raya Idul Adha. Sehingga dengan berkurban, menunjukkan tanda cinta kita kepada Allah dan sesama.
Rasulullah
bersabda melalui hadits yang diriwayatkan dari Aisyah R.A.:
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ
أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ
بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
Artinya:
“Tidak ada
suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang
lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang
pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya.
Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya,
lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (HR. Imam at-Tirmidzi)
I'tibar:
Peristiwa kurban hendaknya bisa lebih kita maknai bukan hanya
sekedar menyembelih hewan kurban semata, tetapi lebih
dari itu kita harus bisa menangkap makna yang terkandung dalam perintah-Nya.
Hakikat kurban memang sangatlah relatif, yang pasti Allah tidak membutuhkan di
balik perintah-Nya, melainkan rasa cinta kita dengan mendekatkan diri
kepada-Nya. Sebagaimana tertulis dalam al-Quran surat al-Kautsar ayat 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Artinya :
“Maka
laksanakanlah shalat karena Tuhan-mu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan
mendekatkan diri kepada Allah)”
Berkurban selain untuk memenuhi perintah Allah dan tanda cinta kepadaNya, juga merupakan sebagai tanda cinta terhadap sesama. Dengan berkurban kita
dilatih untuk peka dan peduli kepada sesama. Hal ini dalam rangka menumbuh
kembangkan spirit pengorbanan untuk berbagi dengan yang lain dalam rangka
pembentukan karakter masyarakat dan bangsa yang beradab. dibuktikan dengan
membagikan daging kurban untuk dinikmati orang lain, dengan memprioritaskan
kaum fakir miskin yang lebih membutuhkan.
Sudah
selayaknya momentum idul adha atau yang sering kita
sebut idul kurban bukan hanya dijadikan hal yang bersifat rutinitas belaka yang
terlaksana tanpa makna, melainkan momentum itu dijadikan sebagai upaya refleksi
kita dalam menjalani hidup ini agar menjadi lebih cinta, cinta kepada Allah sebagai pencipta dan cinta terhadap sesama.
Demikian khutbah singkat ini, semoga bermanfaat, dan
mudah-mudahan Allah SWT menjadikan kita sebagai jiwa-jiwa yang dekat dengan
Allah SWT dan memiliki kepekaan sosial dengan saling berbagi pada sesama.
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
شفاعة
Pada hari yang mulia ini, khatib mengajak jamaah sekalian untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhânahu wa ta’âla dengan sebenar-benarnya takwa; takwa dalam artian menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dengan meningkatkan ketakwaan, maka kita telah menjalankan ikhtiar kita untuk menjadi sebaik-baiknya hamba Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhânahu wa ta’âla dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13: اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Betapa pentingnya menjaga dan meningkatkan persaudaraan di antara umat muslim. Jika tali persaudaraan di antara kita, orang-orang muslim, selalu dijaga, maka kita telah mengamalkan pesan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat Imam Muslim, yaitu: اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَهُنَا يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ: بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ Artinya: “Muslim satu dengan muslim lainnya saling bersaudara, tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah sambil menunjuk dadanya), beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. Hartanya dan kehormatannya.” Dari hadits yang telah disebutkan tadi, terdapat larangan bagi kita sebagai orang Muslim, di antaranya adalah larangan menghina dan menyakiti saudara sesama muslim. Dan bentuk dari menyakiti saudara sesama muslim yang sangat disayangkan adalah vonis kafir kepada orang-orang muslim, padahal satu muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara. Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sendiri telah memperingatkan umatnya agar tidak serampangan menuduh kafir terhadap sesama muslim. Sebab, jika tuduhan tersebut tidak benar, maka akan jatuh kepada dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadits: عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا. فَإنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ. (متفق عليه) Artinya, “Diriwayatkan dari Ibn Umar radliyallâhu ‘anhumâ, ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ketika seseorang mengucapkan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’, maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya. Bila orang yang dituduh memang kafir maka sudah jelas, bila tidak maka dosa tuduhan itu kembali kepadanya’.” (Muttafaq ‘Alaih) Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda: وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ. (متفق عليه) Artinya, “Siapa saja yang menuduh kufur seorang mukmin maka ia seperti membunuhnya.” (Muttafaq ‘Alaih) Mengenai tuduhan kafir seorang muslim kepada saudara muslim lainnya, sungguh hal ini telah terjadi di masa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, tepatnya tahun ke delapan Hijriah. Kala itu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Abu Qatadah Al-Anshari ke gunung Adham dekat kota Makkah untuk mengecoh musuh. Di sana mereka bertemu dengan ‘Amir bin Al-Athbat, ‘Amir pun segera mengucapkan salam kepada mereka. Di luar dugaan, salah seorang prajurit bernama Muhallim bin Juttsamah justru membunuhnya karena menganggapnya tidak beriman. Akhirnya peristiwa itu pun sampai kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan turunlah ayat: وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا (النساء: ٩٤) Artinya, “Dan janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian: ‘Kamu tidak beriman’” (QS An-Nisa: 94). Di kemudian hari Muhallim menghadap kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam agar dimintakan ampunan kepada Allah ta’ala atas perbuatannya. Namun bagaimana respons Rasulullah? Bukan hanya menolak karena menyesalkan kesalahan Muhallim yang serampangan memvonis kafir ‘Amir bin Al-Athbat—bahkan sampai membunuhnya—Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam justru tegas bersabda: “Allah tidak akan mengampunimu.” Muhallim beranjak pergi penuh penyesalan dan menangis sejadi-jadinya. Tujuh hari kemudian ia meninggal dan ketika akan dikuburkan, bumi enggan menerimanya. Karena bingung, orang-orang menghadap Rasulullah untuk meminta petunjuk. Lalu beliau bersabda: إِنَّ الْأَرْضَ تَقْبَلُ مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنْ صَاحِبِكُمْ، وَلَكِنَّ اللهَ أَرَادَ أَنْ يَعِظَكُمْ مِنْ حُرْمَتِكُمْ. Artinya, “Sungguh bumi menerima orang yang lebih buruk dari teman kalian itu, namun Allah berkehendak menasihati kalian sebab kemuliaan kalian.” Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Dari kisah tadi, marilah kita ambil pelajaran yang sangat penting dalam bermuamalah dan bersosial dengan sesama muslim, yaitu jangan sekali-kali kita mengafirkan saudara sesama muslim, bahkan dalam kondisi konflik apa pun. Karena, dengan mengafirkan sesama muslim, maka secara sadar ia telah menghalalkan darah saudaranya sendiri padahal Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan tegas melarang perbuatan tersebut. Semoga, kita dapat menjadi seorang muslim yang berhati-hati dalam berbicara, memiliki sifat toleransi, saling mengasihi dan berbaik sangka kepada semua orang, khususnya orang-orang muslim yang semuanya adalah saudara kita.
Sumber:
https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-vonis-kafir-yang-disesalkan-rasulullah-XcfU6
Komentar
Posting Komentar