JALUR-JALUR KUNCI MENDAPATKAN RIZKI

 السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ



Setiap makhluk hidup telah diatur masing-masing rezekinya oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur'an sendiri, manusia diperintahkan untuk mencari rezeki yang halal seperti dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 168:

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Artinya:

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu".

 

Banyak diantara kita yang  dalam memahami datangnya rezeki terlalu sempit. Mereka berpikir rezeki dari Allah itu hanya dapat diperoleh jika kita mau berusaha atau mau bekerja saja. Sehingga banyak orang berlomba mencarinya, bahkan mereka rela banting tulang peras keringat, berangkat pagi pulang malam, untuk mencari rejekinya Allah.

Pendapat tersebut tidaklah salah namun sayang jika jalur rezeki hanya dimaknai dari satu pintu saja, sehingga dalam kesempatan ini kami mengambil tema “Macam-macam Jalur Rizki”.

Perbedaan sudut pandang dalam memahami jalur rezeki pernah menjadi perdebatan yang menarik antara Imam Syafi’i dan gurunya, Imam Malik. Imam Malik berpendapat bahwa sesuai hadis Rasulullah: ”Andai kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang.”

Sedangkap Imam Syafi’I berpendapat bahwa rizki akan didadpatkan sesuai usahanya.

Dua pendiri mazhab itu bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Hingga satu saat, saat Imam Syafii berjalan-jalan, dia bertemu dengan serombongan orang sedang memanen buah anggur. Sang imam pun ikut membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, sang imam mendapatkan beberapa ikat buah anggur sebagai imbalan jasa dari pekerjaannya membantu para petani. 

Imam Syafi’i amat senang. Dia gembira bukan karena mendapatkan beberapa ikat anggur. Namun dia telah memperoleh bukti yang bisa digunakan sebagai alasan untuk disampaikan kepada Imam Malik jika pendapatnya itu benar. Rezeki harus dicari. 

Dengan bergegas, Imam Syafii pun menemui Imam Malik yang sedang duduk santai. Sambil meletakkan seluruh anggur yang didapatkannya, Imam Syafii berkata mengenai pengalamannya tersebut. “Seandainya saya tidak pernah keluar untuk memanen, tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai ke tangan saya.”

Mendengar dalil muridnya, Imam Malik hanya tersenyum. Dia mengambil anggur itu dan mencicipinya. Dia pun berucap pelan, “Sehari ini aku memang tidak keluar pondok. Hanya mengambil tugas sebagai guru dan sedikit berpikir jika alangkah nikmatnya dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawa beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga menjadi bagian rezeki yang datang tanpa sebab?Lakukan yang menjadi bagianmu. Selanjutnya biarkan Allah yang mengurusnya.” 

Imam Syafi’i langsung tertawa mendengar penjelasan tersebut. Kedua guru dan murid itu tertawa bersama meski mengambil dua hukum yang berbeda dari hadis yang sama.

Imam Ghazali dalam kitabnya Minhajul Abidin membagi 4 jalur untuk mendapatkan rizki:

1.    Rizki yang dijamin/diantar (madhmun)

2.    Rizki yang dibagikan/ditakar (Maqsum)

3.    Rizki yang dimiliki/dikejar (Mamluk)  

4.    Rizki yang dijanjikan/ditawar (Mau’ud 

Rezeki yang dijamin/diantar, mengarah kepada makanan dan segala apa yang menopang atau menguatkan tubuh dan jiwa kita. Jenis rizki itu tidak terkait dengan sumber-sumber lainnya di dunia. Jaminan terhadap rezeki jenis ini datang dari Allah Ta’ala secara langsung sebab namanya saja adalah rizki yang dijamin. Maka, bertawakal terhadap rezeki jenis ini wajib berdasarkan dalil aqli dan naqli. Sebab, Allah telah membebankan kita untuk ibadah kepada-Nya dan menaati-Nya dengan tubuh dan anggota badan kita. Dia pasti telah menjamin apa-apa yang menjadi sumber energi bagi seluruh organ dan sel-sel tubuh kita agar kita dapat melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh-Nya. Seperti dalam firmanNya:

 وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ 

مُّبِيْنٍ

Artinya:

Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.350) Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauhulmahfuz). (QS Hūd:6)

Dikisahkan oleh Utsman bin Hasan bin Ahmad asy-Syakir melalui Durratu an-ashihin Fi al-Wa'd wa al Irsyad bahwa lelaki yang bernama Imam az-Zahidi ingin menguatkan keyakinannya terkait rezeki yang dijamin oleh Allah SWT. Lelaki itu lalu pergi ke sebuah gua yang terletak di gunung dan duduk di dalamnya.

"Aku hendak menyaksikan, bagaimana caranya Tuhan hendak memberiku rezeki di tempat ini?" kata Imam az-Zahidi.

Tak disangka-sangka, tibalah rombongan pendaki yang telah melakukan perjalanan jauh menyusuri daerah tempat Imam az-Zahidi bernaung. Di saat yang bersamaan, hujan turun dan menyebabkan para pendaki berteduh di dalam gua tersebut.
Pendaki-pendaki itu menemukan Imam az-Zahidi yang tengah berdiam diri di dalam gua, salah satu di antara mereka lalu memanggilnya, "Wahai hamba Allah!"
Seruan dari pendaki itu tidak dihiraukan oleh Imam az-Zahidi. Karenanya, mereka mengira Imam az-Zahidi tengah kedinginan dan tak mampu berbicara.
Setelahnya, kelompok pendaki itu menyakalan api unggun untuk menghangatkan suasana sambil kembali mencoba berbicara kepada Imam az-Zahidi. Sayangnya, ia masih tetap diam tidak menjawab para pendaki.

"Jangan-jangan orang ini kelaparan sampai tidak bisa diajak bicara!" ujar mereka.

Akhirnya, para pendaki itu menyediakan makanan yang mereka bawa kepada Imam az-Zahidi dan mengisyaratkannya untuk segera memakannya. Lagi-lagi, Imam az-Zahidi tidak berkutik.

Melihat hal itu, sekumpulan pendaki mengira Imam az-Zahidi sudah terlalu lama tinggal di dalam gua sampai tidak mendapat makanan sedikit pun. Akhirnya, dibuatkannya susu panas untuk diminum.

Alih-alih menerima susu yang diberikan, Imam az-Zahidi lagi-lagi tidak merespons. Ia tidak membuka mulutnya atau menoleh sedikit pun kepada para pendaki yang telah berbaik hati itu.

Sekelompok pendaki itu lalu berujar, "Jangan-jangan giginya sudah linu susah untuk digerakkan, karena sudah lama tidak makan dan saking kelaparan,"

Akhirnya, salah dua di antar pendaki itu membantu untuk membuka mulut Imam az-Zahidi untuk menyuapkannya makanannya. Tak disangka, dia justru malah tertawa lepas.

"Apakah kamu gila?" kata pendaki tersebut.

Imam az-Zahidi menjawab, "Tidak, akan tetapi aku hendak ingin menguji Tuhanku, bagaimana caranya Tuhan memberikan rezeki yang telah dijamin untukku. Sekarang aku mengerti bahwa Dia akan mengaruniakan rezeki kepada hamba-Nya dalam segala hal, bagaimanapun keadaan hamba-Nya, dimanapun keberadaan hamba-Nya,"

Rizki yang dibagi/ditakar, adalah apa yang telah dibagikan oleh Allah dan telah tertulis di Lauhul Mahfuzh secara komprehensif. Masing-masing dibagikan sesuai dengan kadar yang telah ditentukan dan waktu yang telah ditetapkan, tidak lebih dan tidak kurang, tidak maju dan tidak mundur dari apa yang tertulis itu. Itulah yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan dibagi sesuai kehendak dan Kuasa-Nya. Allah berfirman:

وَاللّٰهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ فِى الرِّزْقِۚ فَمَا الَّذِيْنَ فُضِّلُوْا بِرَاۤدِّيْ رِزْقِهِمْ عَلٰى مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيْهِ سَوَاۤءٌۗ اَفَبِنِعْمَةِ اللّٰهِ يَجْحَدُوْنَ

 Artinya:

Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezekinya kepada para hamba sahaya yang mereka miliki, sehingga mereka sama-sama (merasakan) rezeki itu. Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?

Rasulullah SAW juga bersabda, “Rizki itu telah dibagikan dan kemudian telah diberikan semuanya. Tidaklah ketakwaan seseorang dapat menambahkannya dan tidak pula kejahatan orang yang berlaku jahat dapat menguranginya.” Maka dalam konteks itu rizki yang disindir Baginda Nabi adalah Rizki yang Maqsum atau dibagi.

Rizki yang dimiliki/dikejar, adalah harta benda dunia yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dia miliki. Dan ini termasuk rezeki dari Allah. Maka tidak heran banyak orang yang tidak ibadah bahkan kafir, tapi tidak kurang rizkinya bahkan berlimpahrua. Allah berfirman dalam Surat AL-Jumah 10:

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ 

Artinya:

“Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”.

Rizki yang dijanjikan/ditawar, adalah segala apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa dengan syarat ketakwaan, sebagai rezeki yang halal, seperti dijeaskan dalam surat Ath-Thalaq.

 وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

 Artinya:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”

Meskipun Allah SWT telah mengatur dan menjamin rezeki hambanya, namun perkara ini tetap harus diupayakan. Karena setiap yang terlahir tidak semua orang dari kalangan keluarga yang berada, maka setiap dari kita harus selalu berupaya dan berdoa kepada Allah SWT dalam setiap melangkahkan kaki untuk mengais rezeki.

Rezeki tidak hanya sebatas materi dan finansial, melainkan juga nikmat sehat, berkah umur, mudah jodoh, serta terhindar dari segala marabahaya. Irwan Kurniawan dalam bukunya yang bertajuk Mengetuk Pintu Rezeki mengatakann ada dua macam rezeki yang diberikan kepada manusia, yaitu rezeki lahiriah dan batiniah.

Rezeki lahiriah berkaitan dengan badan (berupa materi) seperti kesehatan. Sementara itu, rezeki batiniah erat kaitannya dengan hati seperti kebahagiaan dan pengetahuan, inilah semua yang harus kita syukuri.

Demikian semoga bermanfaat.


وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


 شفاعة

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aliran Hulul dalam Tasawuf

AWAS "MUNAFIK" !

SPIRIT MEMBERSIHKAN HATI DARI HASAD