JUM'AT HARI ISTIMEWA
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Mengawali khutbah kali ini, khatib berwasiat kepada para jamaah sekalian pada umumnya, dan kepada diri khatib sendiri khususnya, agar kita senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah ﷻ dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena, peningkatan iman dan takwa sejatinya dapat diperoleh dengan dua cara tersebut, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sebuah kalam ulama menyebutan:
الإِيْمَانُ يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ، يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالمَعْصِيَةِ
Artinya: “Iman itu dinamis, dapat bertambah dan berkurang. Bertambah karena ketaatan kepada Allah dan berkurang karena kemaksiatan.
Hari Jumat
tergolong unik dalam Islam. Dari segi penamaan, pilihan nama “Jumat” berbeda
dari nama-nama hari lainnya. Kata “Jumat “ Qamus Al-Lughah Al-Arabiyah
Al-Ma'ashir dapat dibaca dalam tiga bentuk: Jumu'ah, Jum'ah, dan Juma'ah, yang
berarti berkumpul. Sementara hari-hari lain memiliki makna yang mirip dengan
urutan angka hari dalam sepekan: Ahad (hari pertama), Isnain (hari
kedua), tsulatsa (hari ketiga), arbi’a (hari keempat) dan khamis (hari
kelima), serta sabt yang berakar kata dari sab’ah (hari ketujuh).
Pada masa
Arab Jahiliyah nama-nama hari terdiri dari Syiyar (Sabtu), Awwal (Ahad), Ahwan
(Senin), Jubar (Selasa), Dubar (Rabu), Mu’nis (Kamis), dan ‘Arubah (Jumat).
Nama-nama tersebut kemudian diubah dengan datangnya Islam. Rasulullah tidak
hanya melakukan revolusi moral tapi juga revolusi bahasa. Kata-kata dianggap
kurang tepat dimaknai ulang sehingga sesuai dengan nilai-nilai Islam. Di
kalangan masyarakat Arab Jahiliyah, ‘Arubah merupakan momentum untuk
menampilkan kepongahan, kebanggaan, berhias, dan semacamnya.
Dalam Islam
‘Arubah berubah menjadi Jumu‘ah yang mengandung arti berkumpul. Tentu saja
lebih dari sekadar berkumpul, karena dalam syari’at, Jumat mendapatkan julukan
sayyidul ayyâm atau rajanya hari. Dengan kata lain, Jumat menduduki posisi
paling utama di antara hari-hari lainnya dalam sepekan.
Al-Imam
al-Syafi’i dan al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Ubadah sebuah hadits:
سَيِّدُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ
الْجُمُعَةِ وَهُوَ أَعْظَمُ مِنْ يَوْمِ النَّحَرِ وَيَوْمُ الْفِطْرِ وَفِيْهِ خَمْسُ
خِصَالٍ فِيْهِ خَلَقَ اللهُ آدَمَ وَفِيْهِ أُهْبِطَ مِنَ الْجَنَّةِ إِلَى الْأَرْضِ
وَفِيْهِ تُوُفِّيَ وَفِيْهِ سَاعَةٌ لَا يَسْأَلُ الْعَبْدُ فِيْهَا اللهَ شَيْئًا
إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ مَا لَمْ يَسْأَلْ إِثْمًا أَوْ قَطِيْعَةَ رَحِمٍ وَفِيْهِ
تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَمَا مِنْ مَلَكٍ مُقّرَّبٍ وَلَا سَمَاءٍ وَلَا أَرْضٍ وَلَا
رِيْحٍ وَلَا جَبَلٍ وَلَا حَجَرٍ إِلَّا وَهُوَ مُشْفِقٌ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
Artinya: “Rajanya
hari di sisi Allah adalah hari Jumat. Ia lebih agung dari pada hari raya kurban
dan hari raya Fithri. Di dalam Jumat terdapat lima keutamaan. Pada hari Jumat
Allah menciptakan Nabi Adam dan mengeluarkannya dari surga ke bumi. Pada hari
Jumat pula Nabi Adam wafat. Di dalam hari Jumat terdapat waktu yang tiada
seorang hamba meminta sesuatu di dalamnya kecuali Allah mengabulkan
permintaannya, selama tidak meminta dosa atau memutus tali shilaturrahim. Hari
kiamat juga terjadi di hari Jumat. Tiada Malaikat yang didekatkan di sisi
Allah, langit, bumi, angin, gunung dan batu kecuali ia khawatir terjadinya
kiamat saat hari Jumat.”
Di antara
kita kadang lupa, tak merasakan, keutamaan hari Jumat karena tertimbun oleh
rutinitas sehari-hari. Kesibukan yang melingkupi kita tiap hari sering membuat
kita lengah sehingga menyamakan hari Jumat tak ubahnya hari-hari biasa lainnya.
Padahal, di tiap tahun ada bulan-bulan utama, di tiap bulan ada hari-hari
utama, dan di tiap hari ada waktu-waktu utama. Masing-masing keutamaan memiliki
kekhususan sehingga menjadi momentum yang sangat baik untuk merenungi diri,
berdoa, bermunajat, berdzikir, dan meningkatkan ibadah kepada Allah ﷻ.
Keistimewaan
hari Jumat bisa dilihat dari disunnahkannya mandi Jumat. Dalam Kitab Al-Hawi
Kabir karya al-Mawardi, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa kendati shalat Jumat
dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur, mandi Jumat boleh dilakukan semenjak
dini hari, setelah terbit fajar. Mandi adalah simbol kebersihan dan kesucian
diri. Setelah mandi, seseorang dianjurkan untuk memakai pakaian terbaik,
terutama warna putih, sebelum berangkat menuju shalat Jumat.
Dalam hal
ini, umat Islam diperingatkan untuk menyambut hari istimewa itu dengan kesiapan
dan penampilan yang juga istimewa.
Dalam Kitab Bidâyatul
Hidâyah, Imam Abu Hamid al-Ghazali menyebut hari Jumat sebagai hari raya kaum
mukmin (‘îdul mu’minîn). Imam al-Ghazali bahkan menyarankan agar umat Islam
mempersiapkan diri menyambut hari Jumat sejak hari Kamis, dimulai dengan
mencuci baju, lalu memperbanyak membaca tasbih dan istighfar pada Kamis petang
karena saat-saat tersebut sudah memasuki waktu keutamaan hari Jumat.
Hari Jumat
juga menjadi semacam konferensi mingguan bagi umat Islam, karena di hari
Jumatlah ada shalat berjamaah dan khutbah Jumat. Setiap umat Islam laki-laki
yang tak memiliki uzur syar’I wajib ‘ain melaksanakannya. Artinya, lebih dari
sebatas berkumpul, Jumat adalah momen konsolidasi persatuan umat sekaligus
memupuk ketakwaan melalui nasihat-nasihat positif dari sang khatib. Tentu
keutamaan ini bersamaan dengan asumsi bahwa jamaah melaksanakan shalat Jumat dengan
kesungguhan penuh, menyimak khutbah secara baik, bukan cuma rutinitas sekali
sepekan untuk sekadar menggugurkan kewajiban.
Amalan-amalan
utama hari Jumat juga bertebaran. Di antaranya adalah memperbanyak baca
shalawat, memperbanyak doa, bersedekah; membaca Surat al-Kahfi, Surat
al-Ikhlas, Surat al-Falaq, dan Surat an-Nas, serta ibadah-ibadah lainnya.
Masing-masing amalan memiliki fadhilah yang luar biasa.
Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, ‘Amal Yaum wa
Lailah, mengatakan: “Nabi ﷺ membaca Surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas usai
shalat Jumat sebanyak tujuh kali dan beliau juga memperbanyak shalawat pada
hari Jumat dan malamnya. Ia juga mengerjakan shalat sunah setelah shalat Jumat
di rumahnya, tidak di masjid. Setalah itu apa yang dilakukan Nabi SAW? Beliau
mengunjungi saudaranya, menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah (bertakziah),
atau menghadiri akad nikah.”
Dengan
demikian, umat Islam seolah diajak untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari khusus
untuk memperbanyak ibadah. Tidak jarang, Jumat dijadikan oleh para ulama untuk
mengistirahatkan diri sejenak dari hiruk-pikuk kesibukan duniawi, untuk
mengkhususkan diri beramal saleh di hari Jumat. Sebagaimana dilakukan
Rasulullah, hari Jumat bukan semata untuk meningkatkan ritual ibadah kepada
Allah tapi juga berbuat baik kepada sesama, seperti bersilaturahim, berempati
kepada orang yang kena musibah, dan lain-lain.
Karena itu
pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Qadla’i dan ibnu Asakir dari
Ibnu Abbas disebutkan:
الجمعة حج الفقراء
Artinya: “Jumat
adalah hajinya orang-orang fakir.”
Hadits tersebut
adalah penegasan tentang betapa istimewanya hari Jumat dibanding hari-hari
biasa lainnya. Karena itu patut bagi kita untuk meluangkan waktu sejenak untuk
berkontemplasi (muhasabah), menaikkan kualitas ibadah kepada Allah, memperbaiki
hubungan sosial, serta memperbanyak amal-amal sunnah lainnya. Cukuplah enam
hari kita sibuk dan larut dalam kesibukan duniawi. Apa salahnya menyisihkan
satu hari untuk menyegarkan kondisi rohani kita agar tidak layu, kering, atau
bahkan mati. Semoga khatib al-faqir dan jamaah sekalian dapat melaksanakan
anjuran ini dengan sungguh-sungguh dan penuh kesadaran diri.
Demikian semoga bermanfaat.
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
شفاعة
Komentar
Posting Komentar