السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Pada hari yang mulia ini, khatib mengajak jamaah sekalian untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah subhânahu wa ta’âla dengan sebenar-benarnya taqwa; taqwa dalam artian menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dengan meningkatkan ketaqwaan, maka kita telah menjalankan ikhtiar kita untuk menjadi sebaik-baiknya hamba Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhânahu wa ta’âla dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13:
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.”
Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Hidup, mati, jodoh dan rizqi ada di tangan Allah
swt, manusia hanya memiliki hak berikhtiar atasnya. Namun segala keputusan ada
di tangan-Nya. Dari keempat hal tersebut (hidup, mati, jodoh dan rizqi) manusia
seringkali lebih disibukkan dengan urusan rizqi. Dibandingkan tiga hal yang
lainnya. Maklumlah hidup masih dinikmati, udara masih bisa disedot kedalam
rongga dada lalu dikeluarkan kembali tanpa harus membeli. Mati terasa berada
jauh sekali, hamper tiada yang tahu pasti kapan ia akan tiba. Sedangkan jodoh
tinggal menjalani.
Oleh karena itulah kebanyakan manusia akan
merasa sedih jika dijauhi rizqi dan merasa senang jika dihibur dengan rizqi.
Banyak orang yang berubah menjadi manusia religius ketika berada dalam
kesusahan. Rajin berdo’a, beribadah, tawakkal dan rajin bersedekah meskipun
sedikit. Namun sebaliknya, ketika manusia berada dalam kelonggaran, ia akan
mengurangi keintimannya dengan Yang Maha Kuasa, bahkan seringkali lupa dengan
doa yang sering dibaca ketika kesusahan menimpanya. Jika dimasa susah sholat
berjamaah menjadi kebutuhan, maka ketika longgar sholat berjamaah menjadi
gangguan. Ketika dimasa susah sholat maghrib begitu khusuknya, dan ketika
longgar sholat magrib sesempatnya. Naudzubillah min dzalik. Seoah-olah harta
benda dan duniawi adalah segalanya.
Dengan demikian perlu kiranya kita mengkaji
ulang. Benarkah dunia itu harus selalu dikejar? Padahal dunia semakin dikejar
semakin akan menjauhi kita. Ketika seorang mempunyai rumah, maka ingin ia
lengkapi dengan mobil mewah. Ketika keduanya telah serasi, manusia inginkan
renovasi. Ketika renovasi usai maka perlu tambah mobil lagi dan seterusnya.
Jama’ah yang dimuliakan Allah
Dikisahkan pada suatu hari, Ali bin Abi Thalib
pulang lebih sore menjelang asar. Fatimah binti Rasulullah menyambut kedatangan
suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu Ali
membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.
Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada
Fatimah. "Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepeserpun."Fatimah
menyahut sambil tersenyum, "Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di
pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta'ala." "Terima
kasih," jawab Ali. Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal.
Padahal persediaan dapur sudah ludes sama sekali. Toh Fatimah tidak menunjukan
sikap kecewa atau sedih.
Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan
salat berjama'ah. Sepulang dari sholat, di jalan ia dihentikan oleh seorang
tua. "Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?" Áli
menjawab heran. "Ya betul. Ada apa, Tuan?''
Orang tua itu merogoh kantungnya seraya
menjawab, "Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat
membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab
engkaulah ahli warisnya." Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang
itu sebanyak 30 dinar.
Tentu saja Fatimah sangat gembira memperoleh
rezeki yang tidak di sangka-sangka ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia
menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan
keperluan sehari-hari.
Ali pun bergegas berangkat ke pasar. Sebelum
masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan tangan,
"Siapakah yang mau menghutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah
kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan." Tanpa
pikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu.
Pada waktu ia pulang dan Fatimah keheranan
melihat suaminya tidak membawa apa-apa, Ali menerangkan peristiwa yang baru
saja dialaminya. Fatimah, masih dalam senyum, berkata, "Keputusan kanda
adalah yang juga akan saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih
baik kita menghutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang di
murkai-Nya, dan menutup pintu surga buat kita."
Jama’ah jum’ah yang dimuliakan Allah
Kisah di atas menunjukkan bahwa manusia sebagai
penerima rizqi dituntut untuk mampu memahami cara kerja atau karakteristik
rizqi sebagai pemberian Allah swt. Ia bisa datang tanpa diundang juga dapat
pergi tanpa diusir. Oleh karena itu kita hendaknya tidaklah terlalu gusar
memikirkan rizqi, cobalah kita berkerja dengan hati tenang. Insyallah rizqi itu
akan menemui kita. Kerja dengan penuh semangat, keluar dari rumah dengan motor
dipacu kencang berbalapan dengan matahri terbit, pulang kerumah dengan gonta
menyongsong matahri terbenam. Itu semua bisa lebih bermakna jika kita lakukan
ikhlasan hati dan ketetapan jiwa bahwa Allah swt telah mengatur rizqi kita
Allah memiliki berbagai hikmah dalam pemberian
rizki. Ada yang Allah jadikan kaya dengan banyaknya rizki dan harta. Ada pula
yang dijadikan miskin. Ada hikmah berharga di balik itu semua. Allah Ta’ala
berfirman,
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian
yang lain dalam hal rezki.” (QS. An Nahl: 71)
Dalam ayat lain disebutkan,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada
siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui
lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isro’: 30)
Di tempat lain, Ibnu Katsir menerangkan firman
Allah,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada
hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah
menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan,“Seandainya Allah
memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan
melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah
sombong.” Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan lagi, “Akan tetapi Allah memberi
rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah
yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang
terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia
nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka
yang Dia nilai pantas menerimanya.”
Dalam sebuah hadits disebutkan,
إن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا بالغنى ولو أفقرته لكفر، وإن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا الفقر ولو أغنيته لكفر
“Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan
barulah menjadi baik jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah
membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan
barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat
ia kaya, tentu ia akan kufur”.
Maka apa yang telah kita terima dari-Nya dalam
kehidupan ini tidak lain merupakan ketetapan. Adapun ikhtiyar manusia adalah
kewajiban.
Demikian semoga bermanfaat dan membawa berkah bagi kita semua. Amin
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
شفاعة
Komentar
Posting Komentar