JANGAN SERAMPANGAN MEMVONIS KAFIR!!

 

 السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 Larangan Menuduh Kafir Kepada Orang Lain

Pada hari yang mulia ini, khatib mengajak jamaah sekalian untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah subhânahu wa ta’âla dengan sebenar-benarnya taqwa; taqwa dalam artian menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dengan meningkatkan ketaqwaan, maka kita telah menjalankan ikhtiar kita untuk menjadi sebaik-baiknya hamba Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhânahu wa ta’âla dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13:

  اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.”

Saat ini seringkali di beberapa tempat dan juga di media sosial kita mendengar ceramah-ceramah yang mengafirkan kepada orang/kelompok lain, sehingga masyarakatpun terbawa dan melakukan hal yang sama. Mereka yang mengeluarkan fatwa “paling benar” dan “paling Islam”, melarang umat Islam untuk mengikuti fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama selain kelompok dari golongannya. Bahkan jika ada yang mengajak pada kebenaran tapi bukan dari kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai “paling Islam” harus ditinggalkan, tidak boleh diikuti. Sehingga dalam kesempatan ini kami mengambil thema "Jangan Serampangan Memvonis kafir!!".

Betapa pentingnya menjaga dan meningkatkan persaudaraan di antara umat muslim. Jika tali persaudaraan di antara kita, orang-orang muslim, selalu dijaga, maka kita telah mengamalkan pesan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat Imam Muslim, yaitu:

 اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَهُنَا يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ: بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ

Artinya: “Muslim satu dengan muslim lainnya saling bersaudara, tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah sambil menunjuk dadanya), beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. Hartanya dan kehormatannya.”

Dari hadits yang telah disebutkan tadi, terdapat larangan bagi kita sebagai orang Muslim, di antaranya adalah larangan menghina dan menyakiti saudara sesama muslim. Dan bentuk dari menyakiti saudara sesama muslim yang sangat disayangkan adalah vonis kafir kepada orang-orang muslim, padahal satu muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sendiri telah memperingatkan umatnya agar tidak serampangan menuduh kafir terhadap sesama muslim. Sebab, jika tuduhan tersebut tidak benar, maka akan jatuh kepada dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadits:

 عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا. فَإنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ. (متفق عليه)

Artinya, “Diriwayatkan dari Ibn Umar radliyallâhu ‘anhumâ, ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ketika seseorang mengucapkan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’, maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya. Bila orang yang dituduh memang kafir maka sudah jelas, bila tidak maka dosa tuduhan itu kembali kepadanya’.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:

 وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ. (متفق عليه)

Artinya, “Siapa saja yang menuduh kufur seorang mukmin maka ia seperti membunuhnya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Mengenai tuduhan kafir seorang muslim kepada saudara muslim lainnya, sungguh hal ini telah terjadi di masa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, tepatnya tahun ke delapan Hijriah. Kala itu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Abu Qatadah Al-Anshari ke gunung Adham dekat kota Makkah untuk mengecoh musuh.

Di sana mereka bertemu dengan ‘Amir bin Al-Athbat, ‘Amir pun segera mengucapkan salam kepada mereka. Di luar dugaan, salah seorang prajurit bernama Muhallim bin Juttsamah justru membunuhnya karena menganggapnya tidak beriman.

Akhirnya peristiwa itu pun sampai kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan turunlah ayat:

 وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا (النساء: ٩٤)

Artinya, “Dan janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian: ‘Kamu tidak beriman’” (QS An-Nisa: 94).

Di kemudian hari Muhallim menghadap kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam agar dimintakan ampunan kepada Allah ta’ala atas perbuatannya. Namun bagaimana respons Rasulullah?

Bukan hanya menolak karena menyesalkan kesalahan Muhallim yang serampangan memvonis kafir ‘Amir bin Al-Athbat—bahkan sampai membunuhnya—Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam justru tegas bersabda: “Allah tidak akan mengampunimu.”

Muhallim beranjak pergi penuh penyesalan dan menangis sejadi-jadinya. Tujuh hari kemudian ia meninggal dan ketika akan dikuburkan, bumi enggan menerimanya. Karena bingung, orang-orang menghadap Rasulullah untuk meminta petunjuk. Lalu beliau bersabda:

 إِنَّ الْأَرْضَ تَقْبَلُ مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنْ صَاحِبِكُمْ، وَلَكِنَّ اللهَ أَرَادَ أَنْ يَعِظَكُمْ مِنْ حُرْمَتِكُمْ.

Artinya, “Sungguh bumi menerima orang yang lebih buruk dari teman kalian itu, namun Allah berkehendak menasihati kalian sebab kemuliaan kalian.”

Dari kisah diatas, marilah kita ambil pelajaran yang sangat penting dalam bermuamalah dan bersosial dengan sesama muslim, yaitu jangan sekali-kali kita mengafirkan saudara sesama muslim, bahkan dalam kondisi konflik apa pun. Karena, dengan mengafirkan sesama muslim, maka secara sadar ia telah menghalalkan darah saudaranya sendiri padahal Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan tegas melarang perbuatan tersebut. 

Imam Al-Ghazali mengajak pada para pendakwah untuk bisa menebarkan sikap tasammuh dalam berdakwah, serta mengedepankan persatuan. Melalui kitab Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah beliau menyampaikan, menjadi tokoh Islam itu berarti menjadi penunjuk umat dalam meraih hidayah, baik di suatu desa ataupun kota. Ia mesti menyampaikan dengan kata yang lemah-lembut penuh hikmah, merapatkan barisan, serta berpegang teguh pada agama Allah yang kokoh.

Dalam kitab tersebut beliau juga memberikan standar agar tidak mudah menjustifikasi orang lain keluar dari Islam. Karena bagaimanapun, orang-orang yang masih iman terhadap kenabian Rasulullah saw dan mengakui setiap kepastian dalam agama yang sudah menjadi aturan Islam secara pasti, tetap dihukumi sebagai orang Islam yang wajib dijaga darahnya, jiwanya, dan hartanya. Sebagaimana sabda Rasulullah dalam sebuah hadits yang artinya: “Barang siapa shalat sebagaimana shalat kita, menghadap arah kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka dia adalah seorang Muslim, ia mempunyai perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kamu mendurhakai Allah dengan mencederai perlindungan-Nya” (HR Anas bin Malik).

Yang terpenting dalam masalah aqidah adalah tetap menyampaikan pokok dan cabang sebagaimana pokok dan cabang perihal ibadah, agar umat Islam tahu perbedaannya secara pasti antara orang yang tersesat dan orang yang diangap bid’ah; serta bisa membedakan antara orang yang kekal dalam neraka dan yang sekadar melintasinya. Karena, tidak sepantasnya umat Islam menganggap kafir suatu kelompok hanya karena pemahaman dalam aqidah tidak sama dengannya.

Semoga, kita dapat menjadi seorang muslim yang berhati-hati dalam berbicara, memiliki sifat toleransi, saling mengasihi dan berbaik sangka kepada semua orang, khususnya orang-orang muslim yang semuanya adalah saudara kita.

Demikian semoga bermanfaat.   Aamiin.

 

و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 شفاعة

Pada hari yang mulia ini, khatib mengajak jamaah sekalian untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhânahu wa ta’âla dengan sebenar-benarnya takwa; takwa dalam artian menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dengan meningkatkan ketakwaan, maka kita telah menjalankan ikhtiar kita untuk menjadi sebaik-baiknya hamba Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhânahu wa ta’âla dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13: اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Betapa pentingnya menjaga dan meningkatkan persaudaraan di antara umat muslim. Jika tali persaudaraan di antara kita, orang-orang muslim, selalu dijaga, maka kita telah mengamalkan pesan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat Imam Muslim, yaitu: اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَهُنَا يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ: بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ Artinya: “Muslim satu dengan muslim lainnya saling bersaudara, tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah sambil menunjuk dadanya), beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. Hartanya dan kehormatannya.” Dari hadits yang telah disebutkan tadi, terdapat larangan bagi kita sebagai orang Muslim, di antaranya adalah larangan menghina dan menyakiti saudara sesama muslim. Dan bentuk dari menyakiti saudara sesama muslim yang sangat disayangkan adalah vonis kafir kepada orang-orang muslim, padahal satu muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara. Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sendiri telah memperingatkan umatnya agar tidak serampangan menuduh kafir terhadap sesama muslim. Sebab, jika tuduhan tersebut tidak benar, maka akan jatuh kepada dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadits: عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا. فَإنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ. (متفق عليه) Artinya, “Diriwayatkan dari Ibn Umar radliyallâhu ‘anhumâ, ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ketika seseorang mengucapkan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’, maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya. Bila orang yang dituduh memang kafir maka sudah jelas, bila tidak maka dosa tuduhan itu kembali kepadanya’.” (Muttafaq ‘Alaih) Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda: وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ. (متفق عليه) Artinya, “Siapa saja yang menuduh kufur seorang mukmin maka ia seperti membunuhnya.” (Muttafaq ‘Alaih) Mengenai tuduhan kafir seorang muslim kepada saudara muslim lainnya, sungguh hal ini telah terjadi di masa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, tepatnya tahun ke delapan Hijriah. Kala itu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Abu Qatadah Al-Anshari ke gunung Adham dekat kota Makkah untuk mengecoh musuh. Di sana mereka bertemu dengan ‘Amir bin Al-Athbat, ‘Amir pun segera mengucapkan salam kepada mereka. Di luar dugaan, salah seorang prajurit bernama Muhallim bin Juttsamah justru membunuhnya karena menganggapnya tidak beriman. Akhirnya peristiwa itu pun sampai kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan turunlah ayat: وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا (النساء: ٩٤) Artinya, “Dan janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian: ‘Kamu tidak beriman’” (QS An-Nisa: 94). Di kemudian hari Muhallim menghadap kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam agar dimintakan ampunan kepada Allah ta’ala atas perbuatannya. Namun bagaimana respons Rasulullah? Bukan hanya menolak karena menyesalkan kesalahan Muhallim yang serampangan memvonis kafir ‘Amir bin Al-Athbat—bahkan sampai membunuhnya—Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam justru tegas bersabda: “Allah tidak akan mengampunimu.” Muhallim beranjak pergi penuh penyesalan dan menangis sejadi-jadinya. Tujuh hari kemudian ia meninggal dan ketika akan dikuburkan, bumi enggan menerimanya. Karena bingung, orang-orang menghadap Rasulullah untuk meminta petunjuk. Lalu beliau bersabda: إِنَّ الْأَرْضَ تَقْبَلُ مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنْ صَاحِبِكُمْ، وَلَكِنَّ اللهَ أَرَادَ أَنْ يَعِظَكُمْ مِنْ حُرْمَتِكُمْ. Artinya, “Sungguh bumi menerima orang yang lebih buruk dari teman kalian itu, namun Allah berkehendak menasihati kalian sebab kemuliaan kalian.” Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Dari kisah tadi, marilah kita ambil pelajaran yang sangat penting dalam bermuamalah dan bersosial dengan sesama muslim, yaitu jangan sekali-kali kita mengafirkan saudara sesama muslim, bahkan dalam kondisi konflik apa pun. Karena, dengan mengafirkan sesama muslim, maka secara sadar ia telah menghalalkan darah saudaranya sendiri padahal Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan tegas melarang perbuatan tersebut. Semoga, kita dapat menjadi seorang muslim yang berhati-hati dalam berbicara, memiliki sifat toleransi, saling mengasihi dan berbaik sangka kepada semua orang, khususnya orang-orang muslim yang semuanya adalah saudara kita.

Sumber: https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-vonis-kafir-yang-disesalkan-rasulullah-XcfU6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aliran Hulul dalam Tasawuf

AWAS "MUNAFIK" !

SPIRIT MEMBERSIHKAN HATI DARI HASAD