السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Marilah kita selalu meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Ta’ala.
Dengan taqwa yang sebenar-benarnya yaitu dengan menjalankan semua perintah
Allah dan meninggalkan semua laranganNya agar kita menjadi orang yang paling
mulia disisiNya.
Jamaah rahimakumullah, kali ini penulis ingin berbagi tentang "Spirit Perubahan Untuk Meraih Solusi" dimana hal ini terinspirasi dari kondisi sulit dimasa pandemi corona. Sehingga muncul pertanyaan dalam diri, apakah kita mampu? dan apa yang harus kita upayakan?
Saat ini manusia Indonesia dihadapkan pada tantangan zaman
globalisasi dan kondisi pandemi yang berdampak terhadap kesehatan dan ekonomi, namun hal itu harusnya dimaknai sebagai sebuah peluang.
Kesuksesan menghadapi tantangan zaman itu perlu dilandasi dengan keimanan dan kecerdasan. Orang yang survive (dari tantangan zaman) ini adalah mereka yang memiliki kecerdasan dan keimanan.
Yang pertama, tentang MAMPU
Sering kali tanpa sadar kita mengeluh atas masalah-masalah yang membebani, baik masalah kesehatan, ekonomi, sosial, keluarga, pekerjaan, dll. Sehingga kita lupa bahwa Allah menciptakan manusia adalah sebagai makhluk yang sempurna dengan akal pikirannya dan Allah telah menjanjikan dalam Al-quran Al-Baqarah 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا
مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا
إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا
إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا
تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ
لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ
الْكَافِرِينَ
Artinya: Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
Kemampuan yang dimaksud dalam
ayat ini bukanlah batasan minimal kemampuan seseorang yang karena itu kemampuan dapat berubah-ubah tergantung dengan motivasi, melainkan bahwa kemampuan harus diupayakan semaksimal mungkin dengan cara-cara dan ide-ide yang kreatif, inovatif, out of the box dan ilmiah. Sehingga kita sadar bahwa apapun yang dibebankan kepada kita(sebagai pejabat, pekerja, masyarakat sosial, kepala rumah tangga, dll) telah diputuskan oleh Allah jika kita mampu, karena sesungguhnya keadaaan/posisi kita saat ini adalah karena kehendak Allah.
Jadi mindset kita harus disetting bahwa yang kita lakukan masih belum sempurna dan masih banyak kekurangan yang belum kita lakukan.
Jamaah rahimakumullah,
Yang kedua, tentang UPAYA
Faktor sukses dalam menghadapi tantangan zaman pun harus diusahakan.Untuk itu Allah mengimbau kepada setiap umat untuk terus berupaya mengubah
nasib hidup mereka. Dari yang kurang baik, menjadi nasib yang lebih
baik lagi. Hal
itu sebagaimana termaktub dalam Alquran Surah Ar-Ra’d penggalan ayat 11
berbunyi:
لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ
بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ
لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ
يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ
أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ
مِن وَالٍ ١١
Artinya:
Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu
menjaganya bergiliran, dari depan dari belakangnya. Mereka menjaganya atas
perintah Allah atas perintah Alla. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang
dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Q.S.
al-Ra’d, 11).
Ada motivator mengutip potongan ayat 11 Surat Ar-Ra‟d untuk melegitimasikan pernyataan mereka bahwa nasib kita tergantung pada diri kita. Nasib kita tidak akan berubah dengan sendirinya kecuali kita yang mengubahnya. Mereka mengatakan bahwa:“Allah tidak akan mengubah keadaan kita, bila kita tidak memiliki keinginan atau kesungguhan untuk mengubah diri. Tidak mungkin Allah tidak sesuai dengan firman-Nya.”,
Benarkah demikian?
Tafsir ayat 11 surat Ar-Ra‟d itu ditafsirkan oleh ayat 53 dari surat Al-Anfal
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ
يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا
مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: (Siksaan) yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang
telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah
apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Maksud ayat diatas adalah bahwa Allah tidak akan mengubah kenikmatan suatu kaum menjadi adzab sampai mereka mengubah ketaatan mereka kepada Allah menjadi kemaksiatan. Maka, ada baiknya ketika kaki kita akan melangkah kepada kemaksiatan, kita bersegera menutup dengan tameng: “Kenikmatan kita akan dicabut ketika kita tidak taat kepada Allah (perintah dan laranganNya)”. Q.S. Al-Ra‟d:11 ini menjadi penghalang ampuh kita untuk tidak melangkah kepada suatu maksiat atau laranganNya.
Berdasarkan hasil telaah penafsiran pada ayat 11 surat Ar-Ra‟d, dapat diambil kesimpulan bahwa tafsir dari kalam Allah “Innallaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiru maa bi anfusihim” terbagi menjadi dua pendapat:
Yang pertama, Allah tidak mengubah nikmat yang Dia berikan kepada suatu kaum menjadi adzab sampai mereka mengubah ketaatan mereka menjadi maksiat.
Yang kedua, bermakna Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah sendiri keadaan mereka.
Menurut para ahli, pendapat pertama lebih kuat kuat karena beberapa hal: Banyaknya pendapat dan penafsiran yang dicantumkan para mufassir dalam kitab mereka seperti Tafsiru Qur‟anil A‟dhim karya Ibnu Katsir, Tafsiru Ath-Thobari karya Imam Thobary dan Tafsiru Ibni Abi Hatim karya Ibnu Abi Hatim, Tafsirul Munir karya Wahbah Az-Zuhaily dan Tafsirul Jalalain karya Jalal Al-Muhly dan Jalaluddin As-Suyuthi serta Tafsir Al-Misbah karya Prof.Quraish Shihab, Penafsiran surat Ar-Ra‟d ayat 11 selaras dengan penafsiran surat Al-Anfal ayat 53. Hal ini dikuatkan dengan penafsiran-penafsiran dari mufassir. Dan dapat disimpulkan bahwa surat Al-Anfal menafsirkan surat Ar-Ra‟d atau lebih dikenal dengan istilah Tafsirul ayat bil ayat. Sehingga semua menunjukkan bahwa “tafsir Innallaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim bermakna Allah tidak akan mengubah nikmat yang Dia berikan kepada suatu kaum menjadi adzab sampai mereka mengubah ketaatan mereka menjadi maksiat, wallahu a‟lam.
Jamaah rahimakumullah,
Setiap
orang yang normal menginginkan sebuah perubahan, yaitu adanya pergantian
sebuah keadaan dari yang tidak baik menjadi baik, dari keadaan yang menyedihkan
kepada keadaan yang menggembirakan, dari keadaan yang menakutkan kepada
keadaan yang aman, dari keadaan menderita kepada keadaan yang bahagia,
dari keadaan yang tersesat kepada keadaan yang lurus, dan seterusnya.
Dalam
menempuh jalan menuju perubahan tersebut bermacam-macam, ada yang menempuh
jalan yang keras, tiba-tiba, radikal, dan spontanitas dan tidak
berdasarkan petunjuk agama dan akal yang sehat, serta tidak menempuh
cara-cara yang wajar, yang hasilnya bukan tujuan yang didapat, malah menimbulkan
keadaan yang lebih buruk dari sebelumnya. Ada yang menginginkan perubahan
dengan meminta kepada selain Allah, pergi kepada orang pintar, pergi ke
dukun, makam keramat, memuja benda-benda sakti yang menyebabkan timbul
perbuatan syirik, sebuah dosa besar yang tidak akan diampuni Allah; dan
ada yang ingin perubahan dengan jalan revolusi, kudeta, dan sebagainya
yang menimbulkan kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan yang sulit
diperbaiki; dan lain sebagainya. Namun demikian, sungguhpun orang semakin
pandai, berpendidikan tinggi, menguasai sain dan teknologi, dan seterusnya
terkadang ada yang kehilangan akal sehatnya. Ia misalnya percaya pada
orang sakti, seperti orang yang dapat melipatgandakan uang, atau
terjerumus ke dalam gerakan radikal, dan seterusnya. Para psikolog dan agama mengingatkan kita, bahwa
antara agama, akal sehat, dan akal tidak sehat atau penguasaan hawa nafsu
dalam diri kita selalu berebut pengaruh. Kita harus berjuang agar agama
dan akal sehat yang berdaulat atas diri kita.
Islam
ajaran yang mendorong ummatnya agar maju dan berubah pada keadaan yang
lebih baik dengan menggunakan petunjuk agama, akal sehat, serta sesuai
dengan kearifan lokal, dan berbagai norma dalam kehidupan yang luhur. Nabi
Muhammad SAW mengingatkan, bahwa orang yang amal perbuatannya hari ini
lebih baik dari hari kemarin, maka itulah orang yang beruntung, dan orang
yang perbuatannma dengan kemarin, termasuk orang yang rugi, dan orang yang
amal perbuatannya hari esok lebih buruk dari hari ini, maka termasuk orang
yang celaka.
Islam
mengajarkan sebuah perubahan yang evolutif, namun efektif, sebuah
perubahan yang sesuai dengan petunjuk agama, akal sehat dan tidak
menimbulkan gejolak yang memakan resiko yang besar. Yaitu perubahan yang
cukup mendasar, berdampak jangka panjang, dan berdampak pada semua bidang
kehidupan. Yaitu perubahan dari dalam diri manusia, bukan perubahan dari
luar yang dipaksakan; yaitu sebuah perubahan yang mengambil filosofi telur
yang menetas yang bersumber dari dalam, dan bukan dari luar; telur yang
digetok dari luar agar menetas, justru mengakibatkan ayam tersebut akan
mati; sebuah perubahan yang dilakukan oleh dorongan yang kuat dari yang
bersangkutan dengan mengambil filosofi kupu-kupu yang keluar dari
kepompong yang dilakukan dengan cara kupu-kupu sendiri yang berjuang, dan
bukan dengan cara menggunting bagian dari kepompong dengan tujuan membantu
agar kupu-kupu tersebut dapat keluar, namun ternyata akibatnya fatal,
yaitu bahwa kupu-kupu tersebut ternyata tidak dapat terbang.
Jamaah rahimakumullah,
Berdasarkan
petunjuk al-Qur’an surat al-Ra’d ayat 11, ada dua cara yang dapat ditempuh dalam melakukan perubahan yang
positif:
Pertama dengan menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk
agama, yang menyebabkan hidup selalu dalam bimbingan Allah SWT melalui malaikat-malaikat
yang mendampingi dan menjaga, dan
mendo’akannya.
Hal ini dapat dipahami dari kalimat لَهُۥ
مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ Baginya
(manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan
dari belakangnya.
Kedua, dengan
melakukan perubahan pola pikir, cara pandang, mindset, paradigma dan
seterusnya. Misalnya perubahan pola berfikir buruk sangka menjadi pola pikir
baik sangka, pola pikir feodalistik yang
berdasarkan pada hak-hak istimewa yang didasarkan warisan atau keturunan
menjadi pola pikir egaliter yang berdasarkan atas usaha keras dan prestasi, pola
pikir diskiriminatif yang didasarkan pada hal-hal yang bersifat temporer
seperti harta, pangkat, kedudukan, dan lainnya diganti dengan pola pikir
persaudaraan yang didasarkan pandangan kemanusiaan sebagai yang memiliki nenek
moyang yang sama, asal usul, proses, dan bahan makan yang sama (dari bumi), dan
saling membutuhkan. (Lihat Q.S. al-Hujurat, 49:10-13). Wallahu a'lam.
I'tibar:
1. Allah telah memberi nash, bahwa Dia tidak membebani manusia diluar dari kemampuannya. Sehingga yang menjadi tuga manusia adalah bersemaksimal mungkin dengan cara-cara dan ide-ide yang kreatif, inovatif, out of the box dan ilmiah. Dan menata mindset kita bahwa yang kita lakukan masih belum sempurna dan masih banyak kekurangannya.
2. Potongan ayat: Innallaha laa yughayyiru maa bi anfusihim hatta
yughayyiru maa bi anfusihim. ArtinyaL
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri, bermakna bahwa Allah tidak akan
merubah apa yang ada pada suatu kaum dari bentuk kenikmatan dan kesehatan
dengan cara menghilangkannya, sehingga ia mengubah apa yang ada pada dirinya
dengan berbuat dzalim dan saling bermusuhan antara satu dan lainnya, atau
melakukan perbutan buruk yang dapat mengakibatkan rusaknya susunan masyarakat,
atau adanya orang-orang yang jahat yang mengambil kendali atas kehidupan
individual.
Jadi, sekali lagi, arti ayat itu BUKAN ‘Kita usaha, maka kita pasti sukses’.
Makna yang ‘meleset’ ini biasanya cenderung dieksploitasi secara tidak
pada tempatnya, seperti untuk keuntungan-keuntungan jangka pendek.
Maksud ayat itu ADALAH ‘Ubahlah kondisi jiwa kita (agar tidak lagi terbelenggu hawa nafsu), maka Allah akan mengubah keadaan kita’.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
Barangsiapa membereskan hubungan antara
dirinya dengan Allah, niscaya Allah akan membereskan hubungan antara dia
dan manusia semuanya. Barangsiapa membereskan urusana akhiratnya,
niscaya Allah akan membereskan baginya urusan dunianya. Barangsiapa
selalu menjadi penasihat yang baik bagi dirinya sendiri, niscaya Allah
akan menjaganya dari segala bencana).
3. Bahwa dengan menganut paham perubahan yang sesuai dengan
tuntunan agama, akal sehat dan keadaan masyarakat, maka akan dilahirkan
orang-orang yang memiliki kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, kecerdasan
moral, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional yang seimbang; yaitu
mereka yang mampu melakukan hubungan yang seimbang dengan Allah, manusia, alam
jagat raya dan segenap makhluk-Nya yang baik; Ia akan menjadi orang yang memiliki
karakter yang luhur, bermental yang kokoh, bermoral yang tinggi yang
selanjutnya memandang perjuangan hidup dalam merubah keadaan dilihat sebagai
amanah yang harus dipertanggung jawabkan dengan melakukan amal dan pekerjaan
yang berkualitas tinggi; menjadikan
hidup sebagai rahmat bagi orang lain; menjalani hidup sebagai perjuangan dalam
rangka ibadah kepada Allah, dan menjalani hidup sebagai panggilan jiwa. Inilah kekuatan dari dalam diri manusia
yang ditunjukan agama, akal sehat dan masyarakat yang dapat membawa perubahan
positif dengan resiko yang minimalis.
4. Kita harus yakin dan percaya kepada Nash Allah sebagai bukti keimanan kepadaNya bahwa semua masalah/beban/kondisi yang saat ini kita alami telah diukur oleh Allah jika kita mampu menyelesaikannya serta marilah kita tingkatkan ketaatan dan ketakwaan kita kepada Allah agar kebaikan, kenikmatan dan keberkahan selalu tercurahkan kepada kita semua. Aamiin.
Demikian semoga bermanfaat dan mohon maaf atas segala kekurangan.
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
شفاعة
Komentar
Posting Komentar