Belajar dari Sya'ban
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Marilah kita tingkatkan ketaqwaan
kita kepada Allah Ta’ala. Dengan taqwa yang sebenar-benarnya yaitu dengan
menjalankan semua perintah Allah dan meninggalkan semua laranganNya agar kita
menjadi orang yang paling mulia menurutNya.
Rasulullah SAW bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ
النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ
الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا
صَائِمٌ
Artinya:
”Bulan Sya'ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Abu Dawud dan Nasa'i)
Karena bulan Sya’ban terletak di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan, karena diapit oleh dua bulan mulia ini, maka Sya’ban seringkali dilupakan. Padahal semestinya tidaklah demikian. Dalam bulan Sya’ban terdapat berbagai keutamaan yang menyangkut peningkatan kualitas kehidupan umat Islam, baik sebagai individu maupun dalam lingkup kemasyarakatan.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pengakuan Aisyah, bahwa Rasulullah
SAW tidak pernah berpuasa (sunnah) lebih banyak daripada ketika bulan
Sya’ban. Periwayatan ini kemudian mendasari kemuliaan bulan Sya’ban di
antar bulan Rajab dan Ramadhan.
Itulah salah satu keutamaan bulan Sya'ban, namun dalam kesempatan ini Saya ingin mengajak "Belajar dari Sya'ban" salah satu sahabat Rasulullah.
Namanya Sya’ban. Rumahnya paling jauh dari rumah Nabi Muhammad saw.
dan Masjid Nabawi jika dibandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya.
Disebutkan bahwa jarak rumah Sya’ban dengan Masjid Nabawi atau rumah
Nabi adalah kira-kira tiga jam jalan kaki. Meski demikian, Sya’ban tidak
pernah ketinggalan shalat berjamaah bersama Nabi Muhammad saw. di
Masjid Nabawi.
Sya’ban bahkan selalu datang
paling awal dibandingkan sahabat yang lainnya. Ia selalu mengambil di
posisi bagian pojok masjid ketika shalat dan i’tikaf. Alasannya, dengan
duduk di bagian pojok masjid ia tidak ingin mengganggu sahabat yang
datang kemudian. Oleh sebab itu, ia selalu datang pertama agar untuk
tidak ketinggalan, walau satu rakaat saja, shalat berjamaah bersama Nabi
Muhammad.
Rupanya, kabar Sya’ban –yang
berjalan tiga jam dari rumahnya ke Masjid Nabawi- sampai ke telinga Ubay
bin Ka’ab. Seorang mantan pendeta Yahudi yang memeluk Islam dan menjadi
sahabat Nabi Muhammad saw. Karena kasian, Ubay bin Ka’ab menyarankan
Sya’ban agar membeli seekor keledai agar perjalanannya lebih cepat dan
kakinya tidak sakit.
“Demi Allah, aku tak
senang kalau rumahku berdekatan dengan rumah Rasulullah. Aku lebih suka
tinggal di sebuah rumah yang jauh dari rumah beliau,” kata Sya’ban
kepada Ubay bin Ka’ab.
Ubay
bin Ka’ab kaget dengan jawaban Sya’ban. Kemudian Rasulullah
mengonfirmasi kepada Sya’ban mengapa ia tidak suka tinggal dengannya.
Sya’ban mengungkapkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad saw. pernah bersabda
bahwa setiap langkah seseorang yang menuju masjid maka satu dosanya akan
diampuni atau derajatnya dinaikkan satu peringkat.
Pada suatu pagi, saat shalat Subuh berjamaah akan dimulai, Rasulullah
SAW merasa heran karena tidak mendapati Sya’ban ra pada posisi seperti
biasanya. Rasul pun bertanya kepada jamaah yang hadir, apakah ada yang
melihat Sya’ban? Tapi, tidak ada seorang pun yang melihat Sya’ban ra.
Shalat
Subuh pun sengaja ditunda sejenak, untuk menunggu kehadiran Sya’ban.
Namun yang ditunggu belum datang juga. Karena khawatir shalat Subuh
kesiangan, Rasulullah pun memutuskan untuk segera melaksanakan shalat
Subuh berjamaah. Hingga shalat Subuh selesai pun Sya’ban belum datang
juga.
Selesai shalat Subuh Rasul pun bertanya lagi “Apakah
ada yang mengetahui kabar Sya’ban?” Namun tidak ada seorang pun yang
menjawab.
Rasulullah
sangat khawatir terjadi sesuatu terhadap sahabatnya tersebut, dan meminta
diantarkan ke rumah Sya’ban. Perjalanan dari masjid ke rumah Sya’ban
cukup jauh dan memakan waktu lama terlebih mereka menempuh dengan
berjalan kaki.
Akhirnya, Rasulullah dan para sahabat
sampai di rumah Sya’ban pada waktu shalat dhuha (kira-kira 3 jam
perjalanan). Sampai di depan rumah Sya’ban, beliau mengucapkan salam dan
keluarlah wanita sambil membalas salam.
“Benarkah ini rumah Sya’ban?” Tanya Rasulullah.
“Ya benar, ini rumah Sya’ban. Saya istrinya.” jawab wanita tersebut.
“Bolekah kami menemui Sya’ban ra, yang tidak hadir shalat Subuh di masjid pagi ini?” ucap Rasul.
Dengan berlinangan air mata, istri Sya’ban ra menjawab “Beliau telah meninggal tadi pagi”.
“Innalilahi Wainnailaihiroji’un” jawab semuanya.
Istri Sya’ban ra bertanya “Ya
Rasulullah ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu
menjelang kematiannya dia bertetiak tiga kali dengan masing-masing
teriakan di sertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya”
“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasulullah.
“Di masing-masing teriakannya, dia berucap kalimat "Aduh", kenapa tidak
lebih jauh, aduh kenapa tidak yang baru, aduh kenapa tidak semua,” jawab
istri Sya’ban.
Rasulullah SAW pun melantunkan ayat yang
terdapat surah Qaaf ayat 22: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan
lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang
menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”
“Saat
Sya’ban ra dalam keadaan sakaratul maut, perjalanan hidupnya
ditayangkan ulang oleh Allah SWT.
Bukan hanya itu, semua ganjaran dari
perbuatannya diperlihatkan oleh Allah. Dalam
padangannya yang tajam itu Sya’ban ra melihat suatu adegan dimana
kesehariannya dia pergi pulang ke masjid untuk shalat berjamah lima
waktu. Perjalanan sekitar tiga jam jalan kaki, tentu itu bukan jarak
yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban ra diperlihatkan pahala yang
diperolehnya dari langkah-langkahnya ke masjid,” ujar Rasulullah.
Dia
melihat seperti apa bentuk surga yang dijanjikan sebagai ganjarannya.
Saat dia melihat dia berucap “Aduh mengapa tidak lebih jauh” timbul
penyesalan dalam diri Sya’ban ra, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi
supaya pahala yang didapatkan lebih indah.
Dalam penggalan kalimat
berikutnya Sya’ban ra melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di
musim dingin.
Saat ia membuka pintu, berhembuslah angin
dingin yang menusuk tulang. Dia masuk ke dalam rumahnya dan mengambil
satu baju lagi untuk dipakainya. Dia memakai dua baju, Sya’ban memakai
pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar.
Ketika dalam perjalanan menuju masjid dia menemukan
seseorang yang terbaring yang kedinginan dalam kondisi mengenaskan.
Sya’ban pun iba dan segera membukakan baju yang paling luar lalu
dipakaikan kepada orang tersebut kemudian dia memapahnya ke masjid agar
dapat melakukan shalat Subuh bersama-sama.
Sya’ban ra pun kemudian melihat indahnya surga yang sebagai
balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut. Kemudian dia
berteriak lagi “Aduh!! Kenapa tidak yang baru” timbul lagi penyesalan
dibenak Sya’ban ra. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya
mendapat pahala besar, sudah tentu dia akan mendapatkan yang lebih besar
jika dia memberikan pakaian yang baru.
Berikutnya, Sya’ban
ra melihat lagi suatu adegan. Saat dia hendak sarapan dengan roti yang
dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke dalam segelas susu.Ketika baru saja ingin memulai
sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta sedikit roti
karena sudah tiga hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal itu,
Sya’ban ra merasa iba. Ia kemudian membagi dua rotu tersebut dengan
ukuran sama besar dan membagi dua susu ke dalam gelas dengan ukuran yang
sama rata, kemudan mereka makan bersama-sama. Allah SWT kemudain
memperlihatkan Sya’ban ra dengan surga yang indah.
Ketika
melihat itupun Sya’ban ra teriak lagi “ Aduh kenapa tidak semua!!”
Sya’ban ra kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu
kepada pengemis tersebut, pasti dia akan mendapat surga yabg lebih
indah. Masya Allah, Sya’ban bukan menyesali perbuatanya melainkan
menyesali mengapa tidak optimal.
I'tibar:
1. Marilah selalu shalat berjamaah, di Masjid ataupun Musholla(karena esensinya adalah Masjid) walau dengan halangan apapun karena perjalanan kita tersebut adalah penebus dosa kita
2. Marilah bersedekah yang baik dan banyak, jangan membatasi diri dalam memberi, yakinlah bahwa yang kita berikan hakikatnya adalah milik kita dan pasti Allah akan mengembalikannya.
Pada suatu saat nanti, kita semua akan mati, akan menyesal dan tentu
dengan kadar yang berbeda. Bahkan ada yang meminta untuk ditunda
matinya, karena pada saat itu barulah terlihat dengan jelas konsekwensi
dari semua perbuatannya di dunia. Mereka meminta untuk ditunda sesaat
karena ingin bersedekah. Namun kematian akan datang pada waktunya, tidak
dapat dimajukan dan tidak dapat diakhirkan.
Demikian semoga bermanfaat.
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
شفاعة
Komentar
Posting Komentar