Identitas Islam sebagai agama sosial
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
Marilah kita tingkatkan
ketaqwaan kita kepada Allah Ta’ala. Dengan taqwa yang sebenar-benarnya yaitu
dengan menjalankan semua perintah Allah dan meninggalkan semua laranganNya agar
kita menjadi orang yang paling mulia menurutNya. Islam sering disebut-sebut
sebagai agama rahmatan lil alaamin. Sebenarnya bagaimana hakikat rahmatan
lil alaamiin yang digadang-gadang sebagai identitas islam? Padahal kita
lihat kini masih banyak terjadi pertengkaran antar umat yang disebabkan oleh
perbedaan pendapat dalam merealisasikan hukum Allah dan melaksanakan ibadah
kepada Allah.
Agama islam sebenarnya
diturunkan bukan untuk Tuhan, tapi untuk manusia. Tuhan tidak membutuhkan
agama. Sehingga, agama sebenarnya berporos pada kemaslahatan manusia bukan pada
kemaslahatan Tuhan. Sebagai contoh ketika seseorang melaksanakan sholat,
diharapkan dalam sebuah ayat dalam al-Qur’an bahwa:
“sholat dapat
mencegah perbuatan keji dan mungkar” (Qs. Al-Ankabut: 45)
Sehingga sholat itu
tujuannya menyerap sifat-sifat ilahiyah seperti Rahman dan Rahim Tuhan,
yang nantinya dapat diaktualkan dalam hidup bermasyarakat. Sehingga dalam buku yang berjudul Kembali ke Al-Qur’an dalam Menafsir Makna Zaman
tertulis, “Islam
lebih cocok disebut sebagai agama kehidupan karena wahyu diturunkan untuk
kehidupan sebagai wujud ajakan untuk melakukan perubahan sosial.”
Sebenarnya, sholat dan
thawaf juga dapat disimbolkan sebagai miniatur kehidupan. Sebagai contoh yakni
thawaf. Pakaian yang dikenakan ketika thawaf, yakni hanya memakai sehelai kain
putih tidak dijahit, dan melaksanakan thawaf dengan khidmat yang
mengindikasikan bahwa tidak berpengaruhnya pangkat, derajat maupun jabatan
dihadapan Tuhan. Kita hanya harus tulus dan saling menghargai. Kemudian
kegiatan mengitari Ka’bah dengan penuh keinginan dapat mendekat ke ka’bah yang
diindikasikan sebagai dorongan untuk selalu mendekat kepada pusat atau
terdapatnya kekuatan pusat yang mengendalikan atom-atom yang bergerak
mengelilinginya yakni, kekuatan Ilahiyah. Lalu dalam shalat, dimulainya shalat
dengan takbir dan diakhiri dengan salam mengindikasikan bahwa kehidupan itu
dilakukan karena Allah sehingga ketika melakukan apapun didahului dengan
menyebut nama Allah atau meminta keberkahan dari apa saja yang hendak
dilakukan. Dan kemudian salam ke kanan dan ke kiri, dindikasikan dengan
menyebarkan salam ke sekitar atau memberi kebahagiaan dan pertolongan kepada
sesama.
Jadi, pendek kata
antara ibadah simbolis dan inti itu saling berkesinambungan, dan pengisian
hubungan vertikal (hablun min Allah) dan horizontal (hablun min
An-Naas) itu harus seimbang, tidak melulu soal hubungan vertikal saja. Hal
ini didukung oleh banyak ayat al-Qur’an dan hadis yang mengindikasikan korelasi
yang dekat antar keduanya dan tidak bisa dipisahkan seperti hubungan sebab
akibat. Seperti Qs. Al-‘Ashr: 3 yakni kata اٰمنوا dan وعملوا الصّٰلحٰت, kemudian Qs.
Al-Ankabut: 45 yang berisikan hubungan antara “shalat” dan “terhindar
dari perbuatan keji dan mungkar” serta pada suatu hadis Riwayat Bukhari
Muslim yang artinya “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan kotor,
melakukan hal itu dan masa bodoh, maka Allah tidak butuh (amalannya)
meskipun dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasa).".
Sebagaimana yang
dikatakan Komaruddin Hidayat, “Jika ingin meraih hidup merdeka, mari kita
lunasi utang-utang baik yang bersifat vertikal maupun horizontal”. Justru yang
menarik adalah, bahkan hubungan vertikal seperti kewajiban melaksanakan puasa
dapat dibayar dengan hubungan horizontal yakni menyantuni dhuafa’. Sedangkan
hubungan horizontal atau haqqul adam harus dibayar lewat jalan haqqul
adam pula. Seperti ketika melukai hati saudara maka hutang tersebut
tidak dapat dihapus kecuali dengan keridha-an orang yang telah dilukai
tersebut.
I’tibar:
Jadi, apakah masih ada
yang berpikir bahwa hubungan dengan Tuhan saja sudah dapat menjamin anda
sebagai makhluk yang baik? Padahal kenyataannya, Hubungan vertikal tidak dapat
menjamin putihnya hubungan horizontal. Kenyataan yang terjadi adalah bahwa
hubungan vertikal atau hablun min Allah memang dilaksanakan, namun hanya
dilaksanakan sekedarnya untuk menggugurkan kewajiban bukan karena adanya suatu
kebutuhan mutlak seorang hamba atas Tuhannya. Sehingga, sebagaimana sholat yang
harusnya memiliki energi untuk menghindarkan perbuatan keji karena menggugah
jiwa peka terhadap sekitar justru hanya akan menjadi ibadah biasa yang tidak
merubah kehidupan seseorang. Oleh karena itu, dahsyatnya dan khidmatnya ibadah
kepada Allah sebenarnya mengantarkan hamba untuk senantiasa melakukan kebaikan
dan perbaikan di lingkungan. Maka, muslim sesungguhnya adalah muslim yang taat
kepada Allah, terbuka, peka terhadap sekitar dan senantiasa bergerak untuk
kemaslahatan.
Demikian
semoga bermanfaat.
و
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
شفاعة
Komentar
Posting Komentar